Langsung ke konten utama

INTELEKTUAL TUKANG

aku kasihan dengan para intelektual yang hanya bisa berkata-kata, menulis begitu banyak jurnal, punya networking yang banyak, namun apa daya, apakah terlihat banyak perubahan....

Lihatlah, tontonan setiap pagi, kita yang pergi bekerja menggunakan Commuter Line harus berjibaku, saling mendorong, menggencet, kalau perlu menyikut, terjadilah benturan tulang antar tulang. Mungkin aku sedikit suka Jokowi, yang suka blusukan setidaknya Jokowi memberi contoh pada kita, bahwa pemimpin haruslah dekat dengan rakyat dan dicintai oleh rakyatnya yang juga kaum terpinggirkan.

Saat ini, kita tidak perlu pemimpin yang pintar, bertitel, tapi kita perlu pemimpin yang berani menjalankan misinya, mendahulukan kepentingan rakyat banyak. Anehnya, mengapa para pemimpin baru merasa hebat dengan memberi bantuan-bantuan sosial ke daerah-daerah yang belum berkembang, bersimpati, dan berempati, ketika menjelang pemilu, padahal bantuan-bantuan itu bukanlah jerih payah mereka, melainkan sudah menjadi kewajiban negara membantu. Lalu, dijadikanlah bansos-bansos tersebut untuk pamer, promosi, dan berbagai tujuan-tujuan pragmatis lainnya. Aku pikir rakyat tidak lagi bodoh, mungkin mereka jengah....memang tak ada pemimpin yang sempurna, tapi aku ingin pemimpin yang bisa langsung turun ke lapangan, yang menjadikan networkingnya bukan sebatas mencari award, karena pada kenyataannya kita masih berjalan mundur.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...