Langsung ke konten utama

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan.

Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun
Di luar batas normal
Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan.

Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh konsistensi. Tak ada laptop, masih bisa rental komputer. Tak ada uang untuk merental, menulis di kertas. Artinya menulis bukanlah sesuatu yang harus dilakukan dalam situasi normal. Dalam situasi apapun, menulis bisa dilakukan, asal punya niat yang kuat. Mulai dari menulis diary, bermimpi menjadi penulis besar, dan lain sebagainya, merupakan impian-impian yang membutuhkan kerja keras. 

Jamak dilakukan para mahasiswa, mereka cukup menulis makalah. Kehidupan menulis selesai disitu. Kedua, skripsi. Tradisi membaca dan menulis (literasi) belum dilaksanakan secara holistik, bahkan kemungkinan yang ada, hanya menyenangi salah satunya, namun membenci satunya lagi. Suka membaca, tapi tak suka menulis. Tapi jarang saya melihat, orang suka menulis tanpa membaca. Membaca juga belum tentu memahami, apalagi selera membaca yang homogen (hanya membaca genre tertentu). Tidak sedikit mahasiswa yang lebih menyukai buku-buku motivasi, daripada buku-buku yang sedikit serius, kritis, dan kompleks. Itu dikarenakan buku motivasi mengusung pendekatan yang praktis. Sementara buku-buku yang serius tadi seperti buku akademik masih dibaca sebatas kewajiban untuk mendukung perkuliahan tertentu.

Kemampuan menulis yang dikembangkan pada anggota Fide adalah kemampuan untuk mengetahui potensi terbesar yang mereka miliki. Bahwa masa lalu dan pengalaman bisa menjadi bahan bakar kita dalam menulis. Sebagai contoh, langkah pertama sampai langkah terakhir perjalanan dari rumah sampai kampus UNJ Rawamangun pasti banyak cerita, banyak yang kita pikirkan (masa lalu, masa sekarang, dan masa depan), atau tentang orang-orang yang penting kita pikirkan, tugas-tugas kuliah, hal-hal kecil, dan kejadian-kejadian unik yang ditemui di sepanjang perjalanan tersebut. Kepekaan untuk menyadari tentang eksistensi itu sangat penting. Saat sudah terbiasa berjalan dari A ke B, kita memiliki kemampuan berpikir melebihi dari perjalanan dari A ke B tersebut. Saat proses perjalanan tersebut, segenap pikiran berpetualang ke berbagai dimensi waktu, dimensi jarak, bahkan dimensi tak berbatas (imajinasi). Alam pikiran memiliki kapasitas yang melebihi apapun, namun tetap saja memori tak dapat menampung pengalaman petualangan pikiran tersebut  secara maksimal, karena kemampuan merekam yang kompleks. Terlalu banyak yang dipikirkan, sehingga fokus menjadi kabur dan tidak jelas. Untuk itulah, menjadi penting saat kita memikirkan sesuatu gagasan, ada baiknya kita mencatat hal tersebut. Ini baru sebatas mencatat, belum menuangkan gagasannya ke dalam sebuah tulisan.

Kemampuan membaca konteks 
Hal kedua yang saya ungkapan, bahwasanya kemampuan menulis sangat dipengaruhi oleh kemampuan membaca teks dan konteks. Kemampuan membaca teks, artinya kemampuan untuk memahami isi teks secara keseluruhan, tidak sebagian. Kemampuan membaca konteks, artinya kemampuan untuk memahami permasalahan di balik permasalahan, di balik realitas, di antara proposisi-proposisi atau variabel-variabel yang bersinggungan dalam bilik pikiran dan nurani kita. Saat memikirkan konteks, kita membaca hal-hal yang tidak tertuliskan. Kita membaca sesuatu dengan menggambarkan situasi dan kondisi yang sedang diteliti atau dipelajari. Saya memberikan contoh bagaimana menggambarkan sikap orang yang diam, apakah lebih susah mendeskripsikan “diam” daripada “bergerak”. Tentu saja, perbendaharaan kata dan jam terbang untuk mendeskripsikan sikap dan perilaku seseorang bukanlah perkara mudah, apalagi dalam menulis fiksi. Kemampuan menulis fiksi membutuhkan riset, sama seperti menulis nonfiksi. Riset dibutuhkan untuk mencari kebenaran tentang fakta dan data yang terkait. Misalkan, banyak istilah-istilah kedokteran yang tidak diketahui, karena penulisnya berlatar belakang sosial. Tentu saja dibutuhkan riset, misalkan wawancara atau bertanya pada mbah Google terkait hal yang sulit dipahami dan dimengerti penulis.

Hal berikutnya, adalah kemampuan menulis tadi, sangat berkaitan dengan tipologi penulisan esai. Karakter penulisan esai biasanya sangat subjektif, mengusung hal-hal yang seksis, dan gaya penulisannya biasanya dapat diterima secara umum. Bukan berarti strata esai lebih rendah daripada sebuah artikel. Menulis esai adalah hal yang biasa dilakukan pelajar di dunia barat. Tujuan esai biasanya memperdebatkan sesuatu, berargumentasi terhadap sesuatu, dan bagaimana pandangan subjektif terhadap sebuah perkara. Menulis esai juga tidak seperti berbicara ngalor ngidul seperti seminar tanpa tema. Esai yang baik menghindari copas atau setengah copas, karena yang paling diinginkan dari sebuah esai adalah keotentikannya atau originalitas ide dan pemikirannya. Kalaupun ada data dan fakta yang relevan, itu bukan hal yang utama. Tetapi hanya mendukung realitas yang penulis maksud.

Kritis saja tidak cukup
Kemampuan menulis esai ini menjadi sesi akhir dari pelatihan ini. Setelah Zuhur, peran fasilitator berpindah ke tangan pengurus yang bersinergi dengan anggota Fide. Kegiatan ini bertujuan sebagai upgrading para anggota baru untuk menambah keterampilan menulis, di tengah redupnya tradisi literasi di kampus-kampus pendidikan atau FKIP. Menulis bukan sebatas menulis kata, tapi juga makna. Makna akan memberikan hidup atau nyawa untuk sebuah tulisan. Makna itu datang dari kepekaan atau sikap kritis kita melihat permasalahan secara jeli. Kritis tanpa membaca konteks, akan pincang. Kritis saja tidak cukup, namun perlu juga pembacaan yang lebih, misalkan berdiskusi, wawancara, dan berdialog agar tulisan yang dihasilkan pun berimbang. Apalagi menulis dalam konteks lokal, semisal mengkritisi kebijakan di FIP, itu dibutuhkan riset yang sederhana, yang pasti tidak beda jauh dengan bagaimana seorang jurnalis mewartakan peristiwa. Seorang penulis yang baik juga harus memastikan bahwa data dan fakta yang diperolehnya didapat dari literatur dan wawancara yang berimbang antara pihak yang kritis maupun yang dikritisi. Ingat, esai atau karya tulis bukanlah surat pembaca. Tidak bisa tidak, suka tidak suka, membutuhkan pembacaan yang lebih terhadap permasalahan. Disitulah pentingnya penguasaan seorang penulis terhadap permasalahan dan konsep solusi yang akan dieksekusi. Tanpa membaca teks dan konteks, akan sangat sulit bagi seorang penulis bersikap elegan dalam tulisannya. Bagaimana mengobjektifkan yang subjektif tentunya membutuhkan jam terbang bagi seorang penulis pemula. Sebagaimana saat ini, saya pun masih terus belajar mengeksplorasi kemampuan menulis. Semoga bermanfaat.

Pintu II Atas, 1/12/2013



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...