Tiga tahun lalu, pukul 11
malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka
Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu.
Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan
saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa
saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting.
Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan
penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas.
Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit,
terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat
berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik
penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah
nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya.
Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang
"Mas kenek, ini sudah penuh, mas." Tapi saya mendapat jawaban yang
luar biasa, kenek itu menjawab dengan santai tanpa DOSA "Kalau mau nyaman,
naik taksi saja, Mas".
Indonesian Dream. Impian Indonesia bukan sekadar "Worderful
Indonesia" atau keindahan-keindahan taman-taman kota yang dilalui banyak
orang borjuis di jantung kota. Di tempat yang berbeda, terpelosok, terdalam di
DKI Jakarta, masih banyak kawasan-kawasan pekumuhan yang tidak layak huni,
bahkan saya yakin tak banyak pemimpin yang memperhatikan hak-hak hidup mereka
yang tercerabut lebih tersiksa dari binatang peliharaan yang bisa makan tiga
kali sehari.
Visi kota haruslah memanusiakan, termasuk dalam memanusiakan para
penumpang. Jepang, bukanlah negara agama, beragama, namun kita bisa lihat
Bus-bus yang dikirim ke Indonesia dan dijadikan bis umum memiliki tangga bis
yang menghormati para wanita yang menggunakan rok. Bedakan dengan patas
mayasari bhakti yang tangganya tinggi, sehingga kalau penumpang perempuan mau
naik bus terlebih ibu hamil, harus mengangkat roknya hingga ke lutut. Sungguh
melanggar norma dan adat ketimuran. Perhatian pada hal-hal kecil seperti ini,
sangatlah penting. Tidak sedikit penumpang yang merasa terganggu, ketika
berhimpitan dan harus saling berhadap-hadapan di tengah biskota, sehingga jalur
masuk atau keluar bis membuat penumpang yang lain tidak nyaman, karena harus
bersentuhan, bahkan sering kali ada wanita yang menjadi korban pelecehan
seksual di biskota.
Bis di Jepang. Pintu masuk bis lebih rendah dibanding bis di Indonesia. |
Bis di Jakarta. Coba lihat pintu masuk yang cukup tinggi. |
Impian Indonesia, tidak
usah tinggi-tinggi. Lihatlah dari yang kecil, bagaimana harus ada standar bis
yang menghormati warga negara, memuliakan perempuan. Visi Kota sudah seharusnya
tidak melulu menuhankan pengguna kendaraan pribadi, namun lebih mengutamakan
kepentingan umum. Memperbanyak armada biskota dan transjakarta, keduanya harus
saling melengkapi dan mudah dijangkau, nyaman, dan tidak berdesakan. Saya kira,
saya sering kali melihat turis-turis menggunakan bis umum atau transjakarta
sebagai moda transportasi untuk ke tempat-tempat wisata.
Sebelum jauh bicara wonderful Indonesia, sebaiknya
benahi dulu Jakarta, karena cermin keseluruhan Indonesia adalah Jakarta. Bukan
Bali, bukan Lombok, bukan Bunaken. Wonderful Jakarta jadi patokan atau
referensi bagi kota-kota atau daerah-daerah lainnya di Indonesia. Investasi
yang dibutuhkan, adalah investasi modal sosial rakyat kepada pemimpinnya. Saya
kasihan melihat terutama penumpang perempuan, perempuan-perempuan super itu
harus berdesakan dengan laki-laki yang lebih besar badannya. Sebagai laki-laki,
sebagai manusia, saya merasa perlu berbagi tentang hal ini, tentang pentingnya
memuliakan perempuan, memuliakan penjaga dan pengasuh anak-anak kita di rumah.
Komentar
Posting Komentar
Please do not enter any spam link in the comment box