Jangan Sakiti Pramudi Transjakarta

Sebagai penumpang setia busway, saya tunjukkan apresiasi kepada pramudi transjakarta yang sabar melayani penumpang. Pengorbanan pada saat mengendalikan penumpang ingin masuk atau keluar, dan kadang terpaksa memaksa penumpang yang duduk untuk memberikan tempat duduk untuk ibu hamil. Belum pernah saya melihat mereka meminta dengan cara-cara yang tidak elegan, mereka selalu ramah dan santun.

Pernah sekali pada saat naik transjakarta, bus yang saya tumpangi terkena macet hanya 20 meter sebelum shelter tamini square. Saya meminta kepada pramudi, bisakah saya turun di sini saja, karena saya sudah tidak mampu menahan ingin membuang air kecil, segera. Pramudi itu mengatakan prosedurnya tidak diperbolehkan turun. Saya katakan, dalam kondisi macet, apalagi bus tidak bergerak selama setengah jam, kalau untuk alasan mencegah sakit, terlebih bagi penumpang yang memiliki riwayat penyakit, seharusnya diperbolehkan turun dari Busway kapan saja mereka mau, bukan atas alasan ego, tapi kebutuhan untuk mencegah penyakit berlanjut. Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya saya mengalah dan ngebut cari toilet di Tamini Square.

Pramudi itu tidak salah, hanya menjalankan prosedur yang berlaku. Beberapa kali saya menyaksikan saat bus-bus tak kunjung datang mengangkut penumpang, yang mereka hujat adalah para pramudi yang notabene adalah pelaksana lapangan, bukan bagian dari manajemen. Kadang ada juga penumpang yang tidak sabaran, akhirnya mengajak berkelahi sang pramudi. Intinya, pramudi adalah orang pertama yang secara fisik dan psikologi mendapat tekanan dari penumpang. Berapa harga dari seorang pramudi dibandingkan pada saat mereka bergelut dengan penumpang yang kasar, tidak ramah, dan terkadang disakiti secara mental? Dengan gaji Rp 1.590.000, pramudi yang profesional tentu saja, tetap melayani sesuai prosedur yang berlaku, meski gaji tersebut harus mencukupi segala kebutuhan untuk bayar kontrakan tiap bulan, sekolah anak, urusan dapur, dan lain sebagainya.

Pramudi tidak bisa turun seenaknya di shelter tertentu untuk buang air kecil atau air besar, terlebih jika kemacetan terjadi. Apa yang saya keluhkan, mungkin mereka juga mengeluhkan. Dari aspek kesehatan, pramudi yang suka menahan buang air kecil, memiliki kecenderungan penyakit batu ginjal. Untuk biaya operasi, apakah sebanding dengan yang mereka terima setiap bulannya?

Pesan saya, bagi penumpang, kalau mau marah, sebaiknya jangan menjadikan pramudi sasaran tembak. Menurut saya, kita bisa mengadukan hal-hal terkait pelayanan publik kepada lembaga atau komunitas seperti komunitas suara transjakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan lain sebagainya. Pesan saya: jangan sakiti pramudi Transjakarta.

*penulis pernah menjadi koordinator survey untuk evaluasi pelayanan Transjakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Teknologi di Sektor Pendidikan: Jangan Pakai Kacamata Kuda

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan