Langsung ke konten utama

Banyak Jalan Menuju Sukses

Saya berencana ingin A, tetapi kenapa diberi B. Itu saya alami, mengapa Tuhan memberi saya jalan berbeda dari yang saya rencanakan. Contohnya menjadi pegawai negeri sipil di menko kesra. Ini bukan impian saya. Impian saya sederhana saja pada awalnya, ingin bekerja di rumah saja, bisnis atau apapun. Hanya saja, tekanan ekonomi seolah memaksa saya untuk mencari kepastian hidup. Saya kalah bertarung, mungkin bakat bisnis tidak melekat dalam diri saya.

Ada banyak kebiasaan yang saya tinggalkan, seperti menulis dan membaca. Selama bekerja sebagai PNS, segala hal yang berkaitan dengan intelektual berkurang. Ini resiko saya, karena memang habitus kerja PNS tidak sedinamis mengolah dunia kita sendiri. Sebagai analis pendidikan non formal, pekerjaan saya masih jauh daripada tupoksi, terkadang lebih kepada hal-hal yang sifatnya administrasi. Mencoba idealis tidaklah mudah, namun saya tetap percaya, bahwa akan ada masa, di mana saya bisa membuktikan lebih dari sekadar duduk di belakang meja. 

Bukan maksud meremehkan pekerjaan yang saya geluti, hanya saja saya merasa bahwa ada hal-hal lain yang harus saya lakukan, untuk melakukan hal-hal lain dari sekadar rutinitas. Waktu begitu berharga dan terbatas, saya harus bisa memastikan bahwa jalan PNS ini adalah salah satu jalan, bukan jalan tunggal, untuk meraih sukses dan bahagia dalam satu paket. Karena ada orang yang sukses, namun hidupnya tidak bahagia, seperti  korupsi atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan tertentu. Sebaliknya, ada juga yang bahagia, namun tidak sukses, hidup seperti ini juga akan mencekik, saya pun tidak akan memilih jalan hidup ini. Saya ingin keduanya, bahagia dan sukses!

Jalan PNS, bukanlah jalan terakhir. Banyak jalan-jalan lain atau celah-celah kehidupan yang dengan segala potensi keunikan, saya yakin, siapapun, kalau mau serius, fokus, dan bekerja keras, segalanya akan tercapai. Man Jadda Wa Jada. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...