Dunia pengasuhan di masa mendatang tidak lagi dapat dipersepsikan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Stereotip perempuan atau istri masih dianggap sebagai pihak yang lebih terampil dalam mengasuh anak dibandingkan laki-laki (suami), apalagi telah melekat dalam budaya kita. Namun, dengan berbagai tantangan di masa depan, pengasuhan anak membutuhkan kesetaraan peran antara suami dan istri menurut berbagai penelitian dan pengalaman. Pengasuhan dengan kesetaraan berkontribusi pada tidak hanya pada tumbuh kembang anak, tetapi juga pada hubungan antarorang tua.
Dilema rumah tangga selalu berfokus bagaimana laki-laki saat ini tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama. Kadang bahkan sering kali, saat suami menganggur atau di-PHK, juga sakit, posisi perempuan sebagai ibu dan “manusia biasa” mengalami kebimbangan luar biasa, antara mengurus ekonomi rumah tangga dan mengurus anak yang sedang bertumbuh sekaligus suami yang sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini menjadikan “profesi” sebagai ibu adalah pekerjaan multitask dengan tekanan dan stres tingkat tinggi.
Peran Ayah
Jika melihat peran dan kedudukan secara tradisional, ayah bekerja mencari nafkah, ibu bertugas mendidik anak dan membersihkan rumah. Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran signifikan pada peran orangtua dalam pendidikan anak. Daya beli yang kurang membuat kedua orang tua harus bekerja, yang membuat interaksi dengan anak pun menyusut drastis. Terkadang, ikut pula masalah kantor dalam bahasan di dalam rumah, anak pun sekali lagi, harus menyimpan segala gundah dalam hatinya. Tak satupun orangtuanya, yang mengerti kondisinya, apa yang dialaminya seharian bersama si mbak, atau nenek, maupun teman penitipan anak. Yang orangtua pikirkan yang penting, uang sekolah bisa dibayarkan, anak tidak kelaparan, dan bisa beli susu, pampers, dan lain sebagainya.
Keluarga bukan hanya ibu yang selalu dituntut harus selalu terlibat dalam pendidikan anak, seorang ayah pun wajib memperhatikan keterlibatannya. Fenomena fatherless bukan hanya tentang anak yatim, namun ayah yang secara biologis ada, tetapi tidak hadir secara psikologis. Jika terjadi perceraian pun, ibu yang kebanyakan harus menjadi single parent mengasuh anak seorang diri. Fenomena ini memang belum dianggap serius, namun jika melihat perjalanan negara adidaya, seperti Amerika, peran ibu memang penting, namun peran ayah pun tak kalah penting, karena banyak kejahatan terjadi disebabkan ketiadaan ayah sebagai role model bagi anak-anak, dan bukan hanya anak yatim, tapi ketiadaan keterlibatan psikologis dalam mendukung tumbuh kembang anak.
Di Indonesia, fenomena fatherless salah satunya diakibatkan oleh perceraian. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen. Tahun 2015 terdapat 347.256 gugatan cerai dengan penggugat cerai didominasi 70 % berasal dari pihak istri. Menurut data Susenas 2021, jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 2,67% atau sekitar 826.875 anak usia dini tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung. Padahal, dilansir dari Marriage and Religion Research Institute (2012) jika dilihat dari dampak perceraian memiliki multiplier effect ke berbagai hal, yakni: 1) Perceraian mengurangi frekuensi ibadah kepada Tuhan, 2) mengurangi kapasitas belajar anak dan pencapaian pendidikan. 3) mengurangi kapasitas belajar anak dan pencapaian pendidikan. 4) secara signifikan meningkatkan angka kejahatan, pelecehan, pengabaian, penggunaan narkoba, dan biaya kompensasi layanan pemerintah, 5) memperlemah kesehatan dan umur panjang anak-anak serta meningkatkan resiko perilaku, emosional, dan kejiwaan, bahkan bunuh diri.
Menurut penelitian dari Father Involvement Research Alliance (2007) bahwa ketiadaan ayah memiliki beberapa pengaruh, yakni: 1) Pendidikan Anak-anak yang hidup tanpa ayah mereka cenderung mengalami penurunan kinerja sekolah.2) Anak-anak yang tidak tinggal dengan ayah mereka lebih cenderung mengalami masalah perilaku di sekolah. 3) 71 persen dari semua anak putus sekolah berasal dari rumah tanpa ayah.
Tren ini bukan tanpa konsekuensi negatif. Ketiadaan ayah telah terbukti sangat merugikan kesejahteraan anak-anak. Seorang ahli dari sekolah kedokteran Harvard yang telah mempelajari lebih dari 40 tahun penelitian tentang masalah ketidakhadiran orang tua dan kesejahteraan anak-anak mengatakan hal ini: "yang paling berkontribusi pada perkembangan emosional anak adalah kedekatan, kehangatan, dan hubungan yang berkelanjutan dengan kedua orang tuanya (Journal of Family and Culture, v. 1, n. 3, Autumn 1985) atau seperti yang David Blankenhorn katakan dalam Fatherless America :"Fatherlessness (Tiada Ayah) adalah tren demografis paling berbahaya dari generasi ini" (New York: Basic Books, 1995, p. 1.).
Fenomena Fatherless
Menurut APJ Abdul Kalam yang juga Presiden India yang saya kutip dari bukunya The Nation and The Family (2014), mengingatkan bahwa kemakmuran ekonomi dan bangsa yang kuat dan percaya diri jangan sampai melupakan nilai-nilai yang membuat sebuah masyarakat berkelanjutan, yakni keluarga. Bukan pertumbuhan ekonomi atau kekuatan militer saja yang membuat masyarakat kuat. Kesuksesan keluarga yang berkelanjutan berasal dari nilai-nilai, dan ini dapat menopang masyarakat, dan sebuah bangsa, bahkan pada masa-masa sulit.
David Popenoe dalam penelitiannya “Life Without Father” pada tahun 1997 bahwa Ketiadaan ayah adalah kekuatan utama di balik banyak masalah sosial A.S. yang mengganggu. Ini mengindikasikan betapa peran ayah tidak kecil atau setara dengan ibu. Itulah mengapa dalam agama Islam, anak yatim sangat diberi perhatian.
Di dalam ajaran Islam, anak yatim mendapat perhatian khusus, mengingat betapa peran ayah selain tulang punggung ekonomi, juga dalam mengembangkan mental anak. Ketiadaan ayah, membuat tumbuh kembangnya tidak maksimal. Ironisnya, ada anak yang disebut “yatim”, karena memiliki ayah, namun tidak ada ayah dalam keterlibatan tumbuh kembangnya.
Di Indonesia, menurut worldpopulationreview.com (2024) Yayasan Yatim Mandiri, jumlah anak yatim di Indonesia saat ini mencapai 4,7 juta. Ini bukan angka yang kecil, begitu banyak ekses sosial apabila ketiadaan ayah terus menerus berlangsung, dan akan terbentuk “generasi tanpa ayah” di tahun-tahun mendatang.
Signifikansinya sudah terlihat di Amerika. Sebuah data melaporkan bahwa sekitar 63% kasus bunuh diri remaja berasal dari rumah tanpa ayah, 80% pemerkosa dengan masalah kemarahan berasal dari rumah tanpa ayah, dan 71% dari semua anak putus sekolah berasal dari rumah tanpa ayah. Sebaliknya, anak dengan keterlibatan ayah, ayah yang penuh kasih membuat anak secara signifikan belajar dengan baik di sekolah, memiliki harga diri yang sehat, menunjukkan empati dan perilaku pro-sosial, dan menghindari perilaku berisiko tinggi seperti penggunaan narkoba, pembolosan, dan aktivitas criminal (thefatherlessgeneration.wordpress.com).
Peran Setara
Konsep investasi PAUD dalam jenjang pendidikan menjadi vital untuk diterapkan mengingat anak usia dini berafiliasi tidak hanya dengan pendidikan, namun juga kesehatan. Bonus demografi harus dimanfaatkan secara serius agar beberapa dekade generasi ke depan juga dapat menikmati hasil pembangunan. Perspektif kesehatan di Kanada menjelaskan bahwa definisi kesehatan mencakup kapasitas individu untuk menjadi produktif dan menikmati kehidupan, sementara definisi 'pembangunan' sekarang mencakup dimensi seperti kompetensi sosial, keterlibatan afektif, kreativitas, dan ketahanan (PHAC, 2003). Ini memperlihatkan bahwa orang yang sehat, bukan hanya diartikan secara biologis, namun juga psikologis.
Apalagi dengan keterlibatan ayah yang selama ini belum maksimal, akan semakin mendukung perkembangan anak, kelangsungan hidup anak dan kesehatan, dan memunculkan kapasitas anak untuk menjadi orangtua yang efektif di generasi berikutnya. Inilah yang paling penting, bagaimana anak di masa depan, memiliki potensi lebih besar menjadi ayah atau orangtua di masa depan untuk anak-anaknya kelak. Anak akan mengikuti sebagaimana ayah dan ibu mereka berperilaku, bertutur, dan bertindak.
Peran perempuan sebagai ibu pertama kali harus dikuatkan dalam ruang domestik, karena akan sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari perangkap peran domestik tersebut, karena sudah terlampau lelah dengan kondisi beban yang ada. Beban yang berat harus dipikul bersama dengan suami, sehingga peran yang imbang tersebut menghadirkan narasi yang setara bahwa suami akan memahami betapa pentingnya pengasuhan bersama. Ruang publik pun akan berdampak, karena kenangan pengasuhan bersama, tumbuh kembang bersama anak dilakukan dalam pembagian peran yang saling mendukung. Saat anak tumbuh besar dan suami berperan kembali menjadi sang pencari nafkah, maka narasi cerita yang berkembang dalam ruang publik, bahwa tidak cukup perempuan yang mengambil peran tunggal dalam pengasuhan anak. Sebuah harapan untuk para perempuan, bahwa suara di ruang publik tidak perlu dikoar-koarkan oleh perempuan itu sendiri, melainkan dengan memastikan bahwa ruang domestik tidak hanya milik perempuan, tetapi juga laki-laki.
Dilema rumah tangga selalu berfokus bagaimana laki-laki saat ini tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama. Kadang bahkan sering kali, saat suami menganggur atau di-PHK, juga sakit, posisi perempuan sebagai ibu dan “manusia biasa” mengalami kebimbangan luar biasa, antara mengurus ekonomi rumah tangga dan mengurus anak yang sedang bertumbuh sekaligus suami yang sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini menjadikan “profesi” sebagai ibu adalah pekerjaan multitask dengan tekanan dan stres tingkat tinggi.
Peran Ayah
Jika melihat peran dan kedudukan secara tradisional, ayah bekerja mencari nafkah, ibu bertugas mendidik anak dan membersihkan rumah. Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran signifikan pada peran orangtua dalam pendidikan anak. Daya beli yang kurang membuat kedua orang tua harus bekerja, yang membuat interaksi dengan anak pun menyusut drastis. Terkadang, ikut pula masalah kantor dalam bahasan di dalam rumah, anak pun sekali lagi, harus menyimpan segala gundah dalam hatinya. Tak satupun orangtuanya, yang mengerti kondisinya, apa yang dialaminya seharian bersama si mbak, atau nenek, maupun teman penitipan anak. Yang orangtua pikirkan yang penting, uang sekolah bisa dibayarkan, anak tidak kelaparan, dan bisa beli susu, pampers, dan lain sebagainya.
Keluarga bukan hanya ibu yang selalu dituntut harus selalu terlibat dalam pendidikan anak, seorang ayah pun wajib memperhatikan keterlibatannya. Fenomena fatherless bukan hanya tentang anak yatim, namun ayah yang secara biologis ada, tetapi tidak hadir secara psikologis. Jika terjadi perceraian pun, ibu yang kebanyakan harus menjadi single parent mengasuh anak seorang diri. Fenomena ini memang belum dianggap serius, namun jika melihat perjalanan negara adidaya, seperti Amerika, peran ibu memang penting, namun peran ayah pun tak kalah penting, karena banyak kejahatan terjadi disebabkan ketiadaan ayah sebagai role model bagi anak-anak, dan bukan hanya anak yatim, tapi ketiadaan keterlibatan psikologis dalam mendukung tumbuh kembang anak.
Di Indonesia, fenomena fatherless salah satunya diakibatkan oleh perceraian. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen. Tahun 2015 terdapat 347.256 gugatan cerai dengan penggugat cerai didominasi 70 % berasal dari pihak istri. Menurut data Susenas 2021, jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 2,67% atau sekitar 826.875 anak usia dini tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung. Padahal, dilansir dari Marriage and Religion Research Institute (2012) jika dilihat dari dampak perceraian memiliki multiplier effect ke berbagai hal, yakni: 1) Perceraian mengurangi frekuensi ibadah kepada Tuhan, 2) mengurangi kapasitas belajar anak dan pencapaian pendidikan. 3) mengurangi kapasitas belajar anak dan pencapaian pendidikan. 4) secara signifikan meningkatkan angka kejahatan, pelecehan, pengabaian, penggunaan narkoba, dan biaya kompensasi layanan pemerintah, 5) memperlemah kesehatan dan umur panjang anak-anak serta meningkatkan resiko perilaku, emosional, dan kejiwaan, bahkan bunuh diri.
Menurut penelitian dari Father Involvement Research Alliance (2007) bahwa ketiadaan ayah memiliki beberapa pengaruh, yakni: 1) Pendidikan Anak-anak yang hidup tanpa ayah mereka cenderung mengalami penurunan kinerja sekolah.2) Anak-anak yang tidak tinggal dengan ayah mereka lebih cenderung mengalami masalah perilaku di sekolah. 3) 71 persen dari semua anak putus sekolah berasal dari rumah tanpa ayah.
Tren ini bukan tanpa konsekuensi negatif. Ketiadaan ayah telah terbukti sangat merugikan kesejahteraan anak-anak. Seorang ahli dari sekolah kedokteran Harvard yang telah mempelajari lebih dari 40 tahun penelitian tentang masalah ketidakhadiran orang tua dan kesejahteraan anak-anak mengatakan hal ini: "yang paling berkontribusi pada perkembangan emosional anak adalah kedekatan, kehangatan, dan hubungan yang berkelanjutan dengan kedua orang tuanya (Journal of Family and Culture, v. 1, n. 3, Autumn 1985) atau seperti yang David Blankenhorn katakan dalam Fatherless America :"Fatherlessness (Tiada Ayah) adalah tren demografis paling berbahaya dari generasi ini" (New York: Basic Books, 1995, p. 1.).
Fenomena Fatherless
Menurut APJ Abdul Kalam yang juga Presiden India yang saya kutip dari bukunya The Nation and The Family (2014), mengingatkan bahwa kemakmuran ekonomi dan bangsa yang kuat dan percaya diri jangan sampai melupakan nilai-nilai yang membuat sebuah masyarakat berkelanjutan, yakni keluarga. Bukan pertumbuhan ekonomi atau kekuatan militer saja yang membuat masyarakat kuat. Kesuksesan keluarga yang berkelanjutan berasal dari nilai-nilai, dan ini dapat menopang masyarakat, dan sebuah bangsa, bahkan pada masa-masa sulit.
David Popenoe dalam penelitiannya “Life Without Father” pada tahun 1997 bahwa Ketiadaan ayah adalah kekuatan utama di balik banyak masalah sosial A.S. yang mengganggu. Ini mengindikasikan betapa peran ayah tidak kecil atau setara dengan ibu. Itulah mengapa dalam agama Islam, anak yatim sangat diberi perhatian.
Di dalam ajaran Islam, anak yatim mendapat perhatian khusus, mengingat betapa peran ayah selain tulang punggung ekonomi, juga dalam mengembangkan mental anak. Ketiadaan ayah, membuat tumbuh kembangnya tidak maksimal. Ironisnya, ada anak yang disebut “yatim”, karena memiliki ayah, namun tidak ada ayah dalam keterlibatan tumbuh kembangnya.
Di Indonesia, menurut worldpopulationreview.com (2024) Yayasan Yatim Mandiri, jumlah anak yatim di Indonesia saat ini mencapai 4,7 juta. Ini bukan angka yang kecil, begitu banyak ekses sosial apabila ketiadaan ayah terus menerus berlangsung, dan akan terbentuk “generasi tanpa ayah” di tahun-tahun mendatang.
Signifikansinya sudah terlihat di Amerika. Sebuah data melaporkan bahwa sekitar 63% kasus bunuh diri remaja berasal dari rumah tanpa ayah, 80% pemerkosa dengan masalah kemarahan berasal dari rumah tanpa ayah, dan 71% dari semua anak putus sekolah berasal dari rumah tanpa ayah. Sebaliknya, anak dengan keterlibatan ayah, ayah yang penuh kasih membuat anak secara signifikan belajar dengan baik di sekolah, memiliki harga diri yang sehat, menunjukkan empati dan perilaku pro-sosial, dan menghindari perilaku berisiko tinggi seperti penggunaan narkoba, pembolosan, dan aktivitas criminal (thefatherlessgeneration.wordpress.com).
Peran Setara
Konsep investasi PAUD dalam jenjang pendidikan menjadi vital untuk diterapkan mengingat anak usia dini berafiliasi tidak hanya dengan pendidikan, namun juga kesehatan. Bonus demografi harus dimanfaatkan secara serius agar beberapa dekade generasi ke depan juga dapat menikmati hasil pembangunan. Perspektif kesehatan di Kanada menjelaskan bahwa definisi kesehatan mencakup kapasitas individu untuk menjadi produktif dan menikmati kehidupan, sementara definisi 'pembangunan' sekarang mencakup dimensi seperti kompetensi sosial, keterlibatan afektif, kreativitas, dan ketahanan (PHAC, 2003). Ini memperlihatkan bahwa orang yang sehat, bukan hanya diartikan secara biologis, namun juga psikologis.
Apalagi dengan keterlibatan ayah yang selama ini belum maksimal, akan semakin mendukung perkembangan anak, kelangsungan hidup anak dan kesehatan, dan memunculkan kapasitas anak untuk menjadi orangtua yang efektif di generasi berikutnya. Inilah yang paling penting, bagaimana anak di masa depan, memiliki potensi lebih besar menjadi ayah atau orangtua di masa depan untuk anak-anaknya kelak. Anak akan mengikuti sebagaimana ayah dan ibu mereka berperilaku, bertutur, dan bertindak.
Peran perempuan sebagai ibu pertama kali harus dikuatkan dalam ruang domestik, karena akan sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari perangkap peran domestik tersebut, karena sudah terlampau lelah dengan kondisi beban yang ada. Beban yang berat harus dipikul bersama dengan suami, sehingga peran yang imbang tersebut menghadirkan narasi yang setara bahwa suami akan memahami betapa pentingnya pengasuhan bersama. Ruang publik pun akan berdampak, karena kenangan pengasuhan bersama, tumbuh kembang bersama anak dilakukan dalam pembagian peran yang saling mendukung. Saat anak tumbuh besar dan suami berperan kembali menjadi sang pencari nafkah, maka narasi cerita yang berkembang dalam ruang publik, bahwa tidak cukup perempuan yang mengambil peran tunggal dalam pengasuhan anak. Sebuah harapan untuk para perempuan, bahwa suara di ruang publik tidak perlu dikoar-koarkan oleh perempuan itu sendiri, melainkan dengan memastikan bahwa ruang domestik tidak hanya milik perempuan, tetapi juga laki-laki.
Komentar
Posting Komentar
Please do not enter any spam link in the comment box