Langsung ke konten utama

KESRA BERBURU BEASISWA


November 2012 ditutup oleh rapat beasiswa yang diselenggarakan oleh Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kemenko Kesra. Di Hotel Akmani, kami ber-18, junior staf kesra dibidik untuk mampu membuat gebrakan dengan sekolah di luar negeri.  Tak segampang penulis novel Negeri 5 Menara dari satu beasiswa ke beasiswa lain, kami benar-benar memulainya dari awal. Bukan karena kami tak bisa, tak mampu, tapi memang suntikan-suntikan moral dan motivasi sangat dibutuhkan. Itulah cara Sesmenko Kesra Prof. Indroyono Susilo dalam beberapa kali perbincangan menekankan pentingnya Junior Staf Kesra untuk kuliah di negeri Paman Sam.

Bagi saya, belajar di mana dan kapan saja. Memang saya akui, meninggalkan tugas negara untuk meningkatkan skill dan kompetensi bekerja dengan belajar di luar negeri, merupakan tugas negara pula, dengan masing-masing tujuan pragmatisnya. Dengan cara berbeda, ada beberapa masalah mendasar, bukan hanya di Kesra, mungkin pula di berbagai kementerian/lembaga, yakni pengetahuan dan keterampilan terhadap bidang kerja terlebih beberapa kerjasama luar negeri, memerlukan pegawai-pegawai yang memang mengerti dan sekaligus mampu membuat link dengan berbagai instansi luar  negeri. Setidaknya agar kita tidak hanya mengikuti atau menjadi follower, karena jika salah, kita pun bisa berargumen, dengan menggunakan bahasa internasional, yakni bahasa inggris.

Prof.Dr. AgusSartono, Deputi Pendidikan dan Agama, yang merupakan motivator saya juga untuk belajar ke luar negeri pernah mengatakan bahwa di suatu rapat, apabila ada seorang deputi tidak bisa berbahasa Inggris, deputi tersebut akan mengasingkan diri, karena tak bisa berbincang dengan bahasa inggris. 
Di luar dari perburuan beasiswa tersebut, saya sadar betul, bahwa lolos atau tidaknya kita untuk sekolah di luar negeri, kembali pada nasib. Ada yang TOEFL 600, tapi malah tidak lolos. Namun ada juga yang TOEFL di bawah 500, bisa memulai batu loncatan dengan kuliah di negara-negara Asia Pasifik, seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan sebagainya.

Pertarungan saya dengan waktu akan terus terjadi, namun persoalan besarnya, bukanlah beasiswa, saya tidak ingin menjadikan beasiswa ini sebagai parameter nilai hidup saya. Karena nilai tidak dapat diukur, selain dengan niat dan tindakan yang tulus. Tidak naif, ada beberapa beasiswa yang mungkin bisa menjadi tabungan kita untuk memperkaya diri, tanpa memikirkan bagaimana setelah kembali dan pulang ke Indonesia?

Tentu saja perburuan ini masih terus berlangsung. Ibarat perburuan untuk melawan kemalasan belajar TOEFL dan sering-sering berbicara bahasa inggris di tengah-tengah kesibukan bekerja. Perburuan dalam rangka meningkatkan mutu Junior Staf Kesra menjadi penopang kantor Kesra 5-20 tahun mendatang. Maju terus, Kemenko Kesra!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...