Menulis mungkin tidak sebebas bicara.
Menulis itu ketat, ada aturan mainnya. Aturan main itu dibuat, untuk ditaati.
Kepala mungkin setuju, tapi nurani belum angkat bicara. Mahasiswa berkilah
“saya tidak cukup waktu untuk menulis, apalagi dengan seabrek tugas dan jadwal
ngedate yang padat?” Sang pembimbing pun menjawan “EMANG GUE PIKIRIN!!!”
Dunia mahasiswa itu sebenarnya tidak
romantis. Kalau mau cari Juliet, carilah Juliet yang dapat menyemangati kita
kuliah. Bukan kongkow-kongkow, sambil merokok, ngopi, dan ngobrol seperti
seminar tanpa tema, dan esoknya seperti itu dan seperti itu lagi, lebih rumit
dari sinetron yang tak pernah selesai. Episode bisa dibuat-buat atas nama kejar
tayang. Kualitas cerita hambar, penuh teka-teki yang tak membangun logika. Atau
kalau mau cari Romeo, carilah yang bisa ngajak jalan-jalan ke mal ngga cuman
nemenin cari baju yang lagi ngetrend dan fashionable tapi juga mau ke toko buku
sekadar mengingatkan kita pentingnya membaca. “Ingat loh sayang, 3 tahun lagi
skripsi.”
Kita mungkin bisa anggap menulis itu ngga sepenting
dunia kita. Dunia yang diamini sebagian banyak orang yang keliru mengartikan
sebuah KEBEBASAN. Kita ingin bebas dari tugas, tapi kita malas. Kita ingin
kaya, tapi selalu bangun siang. Kita masih senang membanggakan barang-barang
milik orang tua, namun kapan kita berpikir untuk bangga dengan apa yang kita
miliki dari hasil keringat kita sendiri. Menulislah sesuka hati kita, sebebas
yang kita mau, dan masa bodo dengan apa yang akan orang lain pikirkan, namun
satu hal yang selalu menganggu pikiran kita, “kapan skripsi selesai!!!!”
(Sedikit
Himbauan)
Harus diingat, bahwa tulisan itu “hidup”,
selain menerjemahkan cara berpikir sang penulis, juga membuktikan eksistensi
kehidupan orang tersebut. Dengan menulis, kita bisa menipu orang lain, namun
kita tak bisa menipu diri kita sendiri.
Tentu saja, tiap individu punya cerita
dengan lika-liku dunia tulis-menulis. Ada yang berbakat, ada pula yang tidak
sama sekali. Ada yang berbakat, namun malas. Ada yang tidak berbakat, namun
penuh kerja keras. Ada pula yang tidak berbakat dan malas. Untuk tipe orang
terakhir ini, yang kelihatan agak sulit untuk “tumbuh” dalam dialektika dunia
tulis-menulis.
Kalau tulis-menulis itu adalah langit, maka
dunia membaca adalah bumi. Langit menerangi, namun apa artinya langit tanpa
adanya bumi. Ringkasnya, dunia membaca adalah bahan, bekal, awalan, tanpanya
dunia tulis-menulis tidaklah begitu menarik. Seorang penulis jurnal yang
keliling dunia dengan sepeda, menulis perjalanan hidupnya, suka dukanya,
pertemuannya dengan orang-orang baru, kejadian-kejadian unik, menempa batinnya
menjadi lebih peka dan cara berpikirnnya yang lebih terbuka terhadap sebuah
perbedaan.
Kita, juga pasti punya cerita. Bukan soal
apakah jalan hidup kita tak menarik untuk dibaca orang. Ini tergantung bagaimana
kemampuan kita mengemas cerita tersebut sehingga apapun tujuannya, berhasil
menghibur orang yang membacanya. Tulisan yang menghibur biasanya memiliki
novelty (kebaruan), entah apakah itu tulisan fiksi atau nonfiksi.
Ini kembali lagi kepada kita, apakah kita
mau belajar menulis atau kita akan membiarkan “paksaan” menulis diberikan
kepada kita saat harus mengejar deadline skripsi. Mengapa tidak memulainya
sejak dini, memulainya dari bawah. Meski begitu, hidup kita seperti gelas, yang
tidak benar-benar kosong, selalu ada air yang menggenangi. Selalu ada cerita
yang bisa kita bagi, entah itu hal yang baik atau buruk, menjadi
pengalaman dan pengetahuan baru bagi
orang lain. Atau jangan-jangan kita seperti buku tebal yang berisi
lembaran-lembaran kosong tanpa coretan tinta. Sebagaimana pengalaman hidup yang
banyak, mungkin hanya dinikmati sendiri, padahal jika kita memiliki kemampuan
menulis yang sudah terlatih sejak dini, bukan tidak mungkin, jika segala
pengalaman itu dituliskan dalam sebuah buku, blog, web online, akan memberikan
banyak dampak, yang lebih besar lagi. Mempopulerkan diri anda,
mengeksistensikan kampus di mana anda ditempa.
Menulis memiliki efek domino yang panjang, tanpa batas teritori.
Negara ini, negara bebas. Semua orang bisa
berpendapat. Namun yang etis pendapatnya, meskipun benar, tidaklah banyak.
Mungkin kita bisa berdemonstrasi menuntut hak kita, namun menulis adalah nilai
lebih di mana demonstrasi itu perlu dipicu oleh analisis dan interprestasi
mendalam, menyodorkan berbagai data dan fakta, untuk meyakinkan orang lain,
tentang kebenaran yang kita ajukan. Oleh karenanya, orang yang menulis memiliki
pertanggungjawaban moral lebih banyak dibandingkan orang yang pandai berbicara.
Kata-kata bisa terbawa angin lalu, namun jika dituliskan, kata-kata itu akan
mengabadi, mungkin pula bisa diwarisi, dan menemukan setengah jiwa yang hilang.
*disampaikan pada Pelatihan Menulis di FE
Universitas Nasional, 4 Desember 2013
Komentar
Posting Komentar
Please do not enter any spam link in the comment box