Cyberteacher, Bukan Sekadar Guru


Tulisan ini berhasil menjadi juara III LOMBA KARYA TULIS XL AWARD 2014

Persoalan yang mencuat saat ini, apakah cukup kepintaran menjadi dimensi dari berhasilnya sistem pendidikan? Saat siswa/siswi asal Indonesia berhasil memenangkan berbagai penghargaan internasional dalam berbagai olimpiade sains, apakah itu cukup menjadi parameter keberhasilan pendidikan nasional. Sepertinya, karakter hanya terurai dalam buku teks, namun minus dalam keteladanan dari para pembuat kebijakan, pendidik, dan masyarakat.

Hossen Naser menulis. “The goal of education is to enabe the soul to actualizer these potential possibilities, thereby perfecting it and preparing it for eternal life.” Tujuan pendidikan adalah membuat potensi-potensi dan kapasitas tersebut terasah dan dimungkinkan untuk aktif, dan tidak pasif, dan tidak tidur menuju kesempurnaan untuk dipersiapkan guna menghadapi hidup yang serba cepat di dunia dan hidup yang abadi di hari kemudian.

Transformasi guru
Zaman yang semakin berubah dengan dimensi nilai yang terus berubah di tengah semakin mutakhirnya teknologi informasi, membuat peran guru menjadi semakin tergerus. Mulai dari siswa sekolah dasar sampai sekolah menengah begitu familiar dengan jejaring sosial, seperti facebook, path, twitter, google, yahoo, blogspot, wordpress, dan lain sebagainya. Guru dengan segala problematikanya, suka tidak suka, harus beradaptasi dengan dunia yang semakin membaru tersebut.

Generasi muda saat ini, tiada hari tanpa status, membaca dan mengomentari status di facebook, mengirimkan tweet atau meretweet perkembangan terbaru dunia fashion atau chat melalui yahoo messenger dengan teman yang sedang galau. Pengetahuan dapat diunduh melalui google, membaca novel berbentuk pdf sambil mendengarkan musik di kamar mandi, mengirim file tugas melalui gmail, ymail, atau hotmail, dan segudang aktivitas sosial media lainnya. Jelas, tatanan sosial sudah berubah dan mengubah zona sosial yang tadinya terbangun dari hubungan fisik ke jalur online, yang tidak kenal batas atau ruang.

Di mana peran guru saat siswa/siswinya sudah berproses sejauh itu? Tentu saja, guru harus mengenali tingkah laku siswa/siswinya yang sangat jauh berbeda dibanding zamannya, untuk menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kapasitas kompetensinya belum meruang bersama siswa-siswinya di jagat maya. Guru yang sadar akan realitas tersebut tentu akan mengubah sudut pandangnya dalam pengajaran beserta metodenya.

Guru cyber (cyberteacher) tidak berhenti mengajar di dalam kelas, namun juga ikut meruang, berubah, bertranformasi, dan bersaling tukar pemikiran bersama siswa-siswinya di jalur online, terhubung dengan berbagai dimensi pengetahuan, lintasan disiplin keilmuan lainnya, dan netizen yang berkepentingan dengan passion guru cyber, sehingga dapat menggugah kesadaran siswa/siswi bahwa guru cyber adalah teman mereka juga, teman gaul yang asyik dan komunikatif.

Bahayanya cyberbullying
Thomas Lickona dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada maka itu berarti sebuah bangsa sedang menuju kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud ternyata semuanya telah terjadi di Indonesia, yaitu:
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk;
3. Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan;
4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas;
5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6. Menurunnya etos kerja;
7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara;
9. Membudayanya ketidakjujuran; dan
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Sepuluh tanda-tanda yang dikemukakan Lickona tentu saja harus disikapi positif. Dalam artian, segala deviasi sosial bermula karena pola pikir klasik bahwa sekolah adalah segala-galanya dalam pembangunan moralitas anak bangsa. Kalau pun negeri ini memiliki jutaan sarjana pendidikan, itu tidak akan mampu mengubah apa dan siapapun tanpa dukungan dari orang tua, masyarakat, swasta, dan pemerintah. Bukankah selama ini,banyak orang yang korupsi justru datang dari lingkungan intelektual dan agama? Kalau banyak orang pintar yang korupsi, itu mengartikan bahwa dunia pendidikan telah berhasil mencetak orang pintar yang tidak berwatak.

Persoalan pendidikan saat ini, bukan lagi soal angka hitam atau merah dalam rapot, namun lebih kepada sikap dan perilaku yang kontradiktif dengan pengetahuan yang telah diberikan. Kalau memang persoalan watak ini dinomorsatukan, maka dibutuhkan usaha yang besar dan kolektif, karena tidak cukup hanya guru yang bertitel S.Pd yang berkontribusi dalam menangani persoalan watak. Jelas, kita tidak bisa reaktif dalam melakukan tindakan, apalagi salah satu ciri kejahatan dalam cyber tidak sama dengan di dunia nyata, karena cyberbullying terinternalisasi secara samar dalam diri individu yang ditindas, dan sebagian besar dari mereka menyimpan olok-olok tersebut di dalam diri mereka sendiri.Dalam recoveryonpurpose.com, menurut Badan Pencegahan Kejahatan Nasional Amerika Serikat, bahwa dari 40 persen remaja yang mengalami cyberbullying di internet, hanya 10 persen yang berani mengadukan perbuatan si penindas kepada orang tua.

Kalau digali satu per satu tanda-tanda yang dikemukakan Lickona di atas, kita dapat temui bahwa penggunaan internet dan media sosial semakin mengafirmasi kerusakan terutama dalam pembentukan mental kebangsaan dan kewargaan. Cyberbullying merupakan istilah yang belum terlalu familiar dibandingkan istilah bullying. Kedua istilah tersebut memiliki karakteristik yang sama, yakni interaksi antara pihak penindas dan pihak yang ditindas. Perbedaannya, ruang cyberbullying berada dalam lingkup komunikasi elektronik, seperti pesan teks, penggunaan internet, dan bentuk komunikasi digital lainnya.

Polling yang dilakukan Reuters US kepada 18.000 orang dewasa di 24 negara, bahwa Indonesia menempati tempat tertinggi dengan 90 persen dari orang dewasa di Indonesia mengetahui istilah Cyberbullying dibanding Australia Swedia, dan Polandia di urutan berikutnya. Di Indonesia, belum secara pasti berapa kasus Cyberbullying yang sudah terjadi, namun di negara seperti Amerika, banyak remaja yang mati bunuh diri akibat tidak tahan akan olok-olok di dunia maya.  

Kasus cyberbullying di berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat dan Inggris, telah mempunyai hukum untuk mengaturnya, bahkan di negara tersebut cyberbullying menjadi salah satu kurikulum sekolah. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan cyberbullying tidak dapat disamakan dengan bullying secara fisik karena cyberbullying sendiri menyerang keadaan psikis seseorang. Oleh sebab itu, terkadang seseorang yang mengalami cyberbullying berani untuk berbuat nekat bahkan sampai bunuh diri agar terlepas dari segala macam bentuk cyberbullying yang dialaminya. Indonesia sendiri belum memiliki hukum untuk mengaturnya, terlebih Indonesia menempati urutan ketiga sebanyak 43.512.320 pengguna facebook yang rentan sekali menjadi korban cyberbullying.

Perlu cyberteacher
Cyberteacher yang saya maksud, bukanlah yang melakukan proses pengajaran melalui internet atau media sosial, namun mengedepankan komunikasi yang lebih intensif antara guru dan guru atau guru dan siswa. Untuk itu, seorang guru harus mengetahui dan menguasai selek beluk teknologi informasi seperti internet, media sosial, dan cara mengoperasikan komunikasi elektronik (digital) tersebut. Dengan kemampuan itu, seorang guru lebih mudah dan lebih cepat memahami tumbuh kembang siswa/siswinya dan pengalaman yang telah dilaluinya bersama internet dan media sosial dengan tujuan untuk mencegah agar siswa-siswinya tidak berakhir menjadi korban dan juga memupus harapan siapapun siswa-siswinya yang menjadi penindas.

Tidak ada yang imun dengan perubahan teknologi informasi yang semakin mutakhir, termasuk guru itu sendiri. Guru juga manusia, guru juga punya kehidupan, sehingga sesekali membuat status galau dalam akun facebook atau berkicau di twitter, namun guru memiliki tanggung jawab sebagai figur yang seharusnya dicintai, dirindukan, dan dibanggakan. Jelas, cyberteacher bukan sekadar guru biasa, karena praksisnya yang harus mewujud dalam aktivisme online. Ada beberapa prinsip menjadi cyberteacher, antara lain:

Pertama, cyberteacher harus open-minded, artinya ketika ada siswa/siswinya berkomentar apapun, ia harus punya kebesaran hati, tidak takut dikritik dan terbiasa berbeda pendapat, dan tidak suka mengancam, terlebih jika ada komentar tajam yang tertuju padanya. Karena banyak siswa yang sangat menjaga privasi dan menghindari berteman dengan guru karena rasa takut kalau gurunya marah dan kecewa terhadap status yang dibuatnya.

Kedua, cyberteacher bukan bertindak sebagai wasit apalagi polisi moral apabila ada siswa/siswinya yang saling mengejek dengan siswa/siswi dari skeolah yang berbeda di media sosial, namun peran cyberteacher adalah melakukan pendekatan kepada siswa/siswinya melalui diskusi dan dialog informal.

Ketiga, semua guru dapat menjadi cyberteacher dan melakukan kerjasama antar guru di dalam sekolah maupun dengan guru di sekolah lain. Dengan kuatnya jejaring sosial antar guru, maka akan semakin mudah bagi cyberteacher mengkomunikasikan pelbagai persoalan antar siswa-siswi dengan tujuan meminimalisir dampak negatifnya.

Daftar Pustaka 

_________. 2008. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusi. Diterbitkan oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Pendidikan, Agama, dan Aparatur Negara, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia

http://www.recoveryonpurpose.com/upload/Cyberbullying Overview and Strategies Australia.pdf diunduh pada tanggal 21 September 2014 pukul 15.00


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Teknologi di Sektor Pendidikan: Jangan Pakai Kacamata Kuda

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan