Langsung ke konten utama

Membaca Nawacita dalam APBN 2017







“Kita perlu kekuatan ekonomi baru. Kita perlu produktivitas-produktivitas baru untuk membangun kekuatan ekonomi baru Indonesia.” (Presiden Joko Widodo)


Ekonomi dan produktivitas untuk membangun kekuatan ekonomi baru Indonesia adalah kata kunci Presiden Jokowi untuk membangun Indonesia baru. Kekuatan ekonomi baru mustahil tanpa pencapaian infrastruktur. Bicara masalah infrastruktur secara equivalen seharusnya memberikan dampak signifikan bagi pembangunan di daerah.


Jika dalam RAPBN 2017, pemerintah memberikan anggaran untuk belanja infrastruktur sebesar Rp346,6 triliun atau mengalami kenaikan Rp29,5 triliun dari alokasi pada APBNP 2016 sebesar Rp317,1 triliun, sudah seharusnya anggaran sebesar itu memberi pemasukan yang signifikan bagi negara.


Jika dikaitkan dengan Nawacita, dalam Nawacita ke-3, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Kata “membangun” dapat dimaknai membangun fisik dan juga membangun kualitas dari keberadaan infrastruktur yang dapat menopang perekonomian suatu daerah.


Sebagai informasi, infrastruktur ekonomi mendapatkan pagu sebesar Rp336,9 triliun pada 2017 yang dialokasikan melalui belanja kementerian/lembaga sebesar Rp161 triliun, alokasi melalui transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp133,7 triliun antara lain dalam bentuk dana alokasi khusus pada beberapa bidang terkait infrastruktur (seperti transportasi, jalan, irigasi, air minum dan sanitasi, serta energi perdesaan) dan sebagian dana desa untuk pembangunan infrastruktur. Sementara itu, infrastruktur sosial dialokasikan sebesar Rp5,5 triliun pada 2017 dalam bentuk kegiatan pembangunan infrastruktur di bidang pendidikan seperti pembangunan maupun rehabilitasi sekolah maupun ruang kelas. Dari 214.830 sekolah (Dapodik per 14 Desember 2016), 127.528 diantaranya rusak ringan, 7840 rusak sedang, dan 5967 rusak berat. Berarti hampir 60 persen infrastruktur sekolah perlu direnovasi/diperbaiki.


“Membangun” juga berarti mengelola kualitas manusia yang hidup di antara keberadaan infrastruktur tersebut. Bagi rakyat kecil, akses yang lebih utama, bukan mutu. Peningkatan mutu siswa berasal dari profesionalitas guru. Jika guru sudah cukup mengabdi, maka yang berikutnya adalah peningkatkan kompetensi. Jika infrastruktur sudah cukup, tinggal proses menuju mutu terbaik dilakukan dan itu dimulai dari gurunya terlebih dahulu.


Akselerasi infrastruktur harus diimbangi dengan kualitas hidup manusia, terkhusus di daerah tanpa akses. Kebijakan guru garis depan (GGD) menemukan aktualitasnya di tengah pembangunan berkelanjutan. Dengan bergabungnya 7000 calon GGD baru di tahun 2017 yang akan merambah ke berbagai daerah 3T di 28 provinsi akan memacu kualitas manusia lebih baik. Pesan sederhananya, jangan sampai kemegahan infrastruktur menyingkirkan proses memanusiakan manusia di dalamnya. Untuk apa jalan tol dan bandara dibangun mewah, namun rakyat penggunanya tak mengerti bagaimana relevansinya dengan kehidupan mereka yang masih berada dalam kubangan kemiskinan. Pendidikan yang bermutu dibutuhkan untuk beradaptasi dengan dunia industri dan teknologi yang semakin membaru setiap detiknya.


Nawacita ke-7, agak lebih mengerucut kepada keinginan presiden meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Produktifitas berarti kemampuan memproduksi yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih berkualitas (daya saing) dalam perdagangan internasional. Kemampuan dan kualitas izin usaha dan akses (infrastruktur) turut menyumbang suksesi perekonomian yang lebih maju.


Komunikasi dan hubungan yang terintegrasi dengan pasar domestik, regional, dan global perlu ditingkatkan dengan kekuatan teknologi informasi (untuk promosi dan pemasaran). Pencapaian produktifitas tidak akan mencapai level terbaiknya, tanpa adanya kualitas produksi. Produksi yang massif tanpa kualitas tidak akan dapat mengalahkan produsen buruh (Cina) yang sangat kuat menganggu pasar domestik.


Gempuran produk asing secara membabi buta menambah derita rakyat yang tidak kuat ditopang kualitas pendidikan vokasional untuk industri dan teknologi yang masih rendah. Mengutamakan kualitas menjadi pekerjaan rumah yang akan memberi nilai tambah bagi produk dalam negeri untuk bersaing di level internasional. Disini, karakter produk Indonesia akan mendapat apresiasi sebagai produk yang memiliki orisinalitas tinggi, unik, dan tidak mudah ditiru.


Membaca Nawacita yang diusung Jokowi-JK memang perlu waktu, tidak secara langsung hingga 2019 dapat dirasakan dampaknya, namun manfaatnya sudah dapat dipastikan akan terasa meskipun belum optimal. Pelayanan terhadap rakyat untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah internasional perlu pelibatan utuh dari pemerintah daerah bahwa APBN untuk infrastruktur bukan sekadar agenda kejar tayang atau asal ada demi pencitraan semata. Namun pemerintah daerah perlu menginisiasi berbagai instansi kedinasan, swasta, dan NGO untuk menangkap sinyal perubahan yang dilakukan pemerintah pusat.


Kreatifitas dan inovasi pembangunan dengan mengundang swasta menjadi penting bukan untuk sekadar diwacanakan, namun perlu investasi jangka panjang untuk menarik para investor membangun daerah. Oleh karenanya diperlukan kejelian dan kepekaan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sektor pembangunan yang paling menonjol di daerahnya. Infrastruktur yang telah direncanakan akan menopang secara bertahap, sementara prosesnya harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia dan manajemen pembangunan yang humanis.


Membaca Nawacita berarti membaca pesan yang tidak tunggal, bahwa infrastruktur menjadi pilihan dan domain utama pemerintahan Jokowi-JK sebagai yang utama, untuk meningkatkan dan memperluas akses, bukan berarti menghentikan laju sektor yang lain untuk berdaya. Sudah saatnya, pemerintah daerah mengambil peran menjadi pemain sungguhan dan memiliki posisi dominan dalam belantara perekonomian nasional dan dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...