Langsung ke konten utama

Karakter, Keluarga, dan Sin of Crime of Omission

                                                                                                             
 Tulisan ini saya mulai dengan sebuah cerita. Seorang kawan yang dapat order proyek dari X, seorang anggota DPR. X dikenal luas memiliki kesantunan dan tutur kata yang penuh adab ketika diwawancarai di stasiun televisi. Selama mengerjakan proyek, kawan saya itu sudah melakukan yang terbaik bahkan banyak komponen yang digratiskan ataupun mendapat diskon istimewa. Sungguh disesalkan, kesalahan kecil dalam proyek itu membuat X mengancam tidak mau membayar karena ada komponen yang harus diimpor dari luar negeri, karena tidak dijual di Indonesia. Bukan hanya itu, X juga memaki, menghina, dan membentak kawan saya itu tak ubahnya seperti orang  yang tak terdidik, meskipun X memiliki gelar pendidikan dari universitas terkemuka.  

Pemahaman tentang karakter
Di sinilah kita bicara karakter. Pembangunan karakter bangsa, tepatnya. Orang yang berpendidikan, belum tentu terdidik, seperti yang saya contohkan di atas. Ron Kortus dalam www.school-for-champions.com memberi penjelasan sederhana bahwa karakter seperti semacam ciri khas manusia. Menurutnya, jika seseorang mengatakan Anda memiliki karakter, biasanya berarti bahwa Anda terhormat dan jujur, memiliki integritas, berani, dan dapat diandalkan dan bertanggung jawab. Sebaliknya, ada mahasiswa yang berbohong, menipu, atau mencuri. Mereka juga mungkin malas, tidak dapat dipercaya atau tidak memiliki pengertian kepada orang lain. Dan beberapa adalah pengecut. 
Karakter dalam pemahaman di atas memang tidak begitu sulit untuk dicerna, karena pada kenyataannya kita sering melihat bahwa bangsa yang tidak kuat karakternya akan mudah menerima kebudayaan asing tanpa dipikirkan secara kritis dan mendalam. Karena ingin mendapatkan sesuatu yang instan, tanpa proses. Sederhana saja, lihatlah bagaimana antrian di bus Transjakarta. Saling mendorong, berebut kursi. 
Secara sederhana, karakter mengubah kebiasaan orang dari tertutup menjadi lebih terbuka. Perubahan sosial yang terjadi setiap saat, kemajuan teknologi, dan tingginya tingkat mobilitas manusia juga mempengaruhi karakter manusia pada umumnya. Perubahan tata nilai yang mengusung modernitas sedikitnya juga memberi efek pada interaksi sosial antar manusia. 
Dulu, jika suami memberi nafkah, maka istrinya tidak bekerja demi mendidik anak dan membersihkan rumah, mencuci piring, dan melahirkan. Kini, zaman berubah, di mana tingkat kebutuhan ekonomi makin tinggi, persaingan meningkat, maka jika salah satu (suami istri) tidak bekerja, maka dengan pendapatan yang rendah mustahil dapat membeli kebutuhan hidup yang makin tinggi. Oleh karenanya, kebanyakan ibu sekarang ini memberi “hak asuh” kepada nenek sang bayi. Dengan begitu, pemahaman kita pada karakter sudah berubah. Kita tidak lagi melihat wanita yang pulang malam sebagai aib, melainkan desakan perubahan sosial yang mengiringi atau turut menyumbang peran istri yang harus bekerja untuk survive menghidupi keluarga. Jelas, karakter telah beremansipasi bahkan bermetamorfosa menjadi lebih kompleks.


Stres di setiap ranah
Tahun 2002, Seorang ibu muda bernama Mira (37) menenggak racun Senin di kamar rumahnya di Palembang, karena anak sulungnya dua bulan tidak bayar SPP. Stres tidak hanya dialami di ruang keluarga, hantaman stres sudah menjamah bangku persekolahan. Menengok ke belakang, di tahun 2003, kala itu ada sorang anak murid kelas 6 SD di Garut yang coba menggantung dirinya hanya karena tak punya duit untuk membayar iuran kegiatan ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500..Tahun 2004, di Surabaya, Bocah SD Gantung Diri Gara-Gara tak mampu bayar SPP, Miftahul Jannah nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri, nyawanya tidak tertolong. Semua ini untuk uang sebesar Rp. 50.000 yang tidak dimilikinya untuk membayar SPP. Salah satu pemicu bunuh diri ini adalah beratnya beban ekonomi yang harus dipikul. Situasinya serba salah, seorang anak ingin sekolah karena memang anjuran pemerintah, namun sekolah negeri terbatas, membuat orang miskin harus sekolah di swasta yang notabene penuh dengan pungutan dana. Dampaknya stres sudah diidap bahkan oleh siswa SD yang tadi sudah saya sebutkan. 
Siswa yang masih duduk di bangku SD sudah harus membawa tas ransel atau troli yang di dalamnya berisi banyak buku karena kurikulum yang terlalu padat. Belum lagi, ruang informal yang kaku antara guru dan siswa membuat sebagian siswa menjadikan sekolah bagai penjara, bukan sebuah tempat yang menyenangkan. Mereka (baca: siswa) kebanyakan menjadikan pulang sekolah sebagai ”titik”, bukan sebagai ”koma.”
 Dari segi kualitas, guru tidak cukup hanya pintar semata-mata, namun juga memiliki kualitas kepribadian yang baik. Sebagai contoh, berbondong-bondong siswa mengikuti les di sana-sini hanya untuk lulus. Lulus menjadi tujuan, bukan proses belajarnya sendiri. Bagaimana mungkin menanamkan karakter dalam situasi yang seperti demikian. Kadang guru memberikan les tambahan yang mengindikasikan bahwa selama mengajar formal di kelas guru hanya memberi ilmu pengetahuan sebesar 50 persen, maka 50 persen lagi dilakukan lewat les. Alangkah lucunya, apabila situasi itu dibiarkan begitu saja. 
Untuk itu diperlukan seorang guru yang baik. Guru Besar UNJ Prof. Arief Rachman mengatakan bahwa guru yang baik lebih baik dari guru yang pintar. Guru yang baik membangun pengertian, bukan memaksakan pemahaman. Guru yang baik mengerti bagaimana menyikapi Ujian Nasional tanpa melupakan pendidikan watak itu sendiri. Sehingga euforia UN di sekolah juga bisa menghadirkan hal-hal positif dalam pembentukan watak siswa.  
Di ruang intelektual yang berbeda, di mana ilmu pengetahuan bersemayam dan dilestarikan, begitu banyak kasus kekerasan terjadi. Kegiatan ospek atau masa orientasi siswa telah membawa petaka, seperti di IPDN beberapa tahun lalu yang menjadikan kekerasan sebagai cara mengajarkan kedisiplinan dan terus menerus terjadi tanpa pengawasan dari pihak sekolah atau perguruan tinggi. Seperti budaya akademik, budaya menulis dan baca, dan budaya berdiskusi yang masih sangat rendah di tingkatan mahasiswa harusnya menjadi alasan pengenalan akademik bagi mahasiswa tahun pertama yang lebih humanis dan kontributif menyumbang dinamisasi pendalaman studi. Atribut dan pernak-pernik yang sesungguhnya tidak berhubungan erat dengan studi, malah dikedepankan. Inilah ironi yang terjadi dalam perguruan tinggi dan juga dunia persekolahan. 
Pembangunan karakter berarti pembangunan jiwa manusia. Dalam hal ini, agama memiliki pointer tersendiri, karena dari agamalah karakter dibentuk, dibangun, dan dikembangkan. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan untuk mengajarkan sebuah kebaikan. Cukup ironis, apabila antar umat beragama tidak dapat berdialog dengan baik, seperti bentrokan antar penganut yang berbeda maupun satu agama atau keyakinan. Itu sebuah kamuflase namanya. Bukan masalah jam pelajaran agama yang kurang, menyebabkan akhlak remaja menjadi rendah. Poin masalahnya terletak pada kualitas pengajaran dan ketidakpaduan sinkronisasi nilai-nilai universal agama dalam ilmu pengetahuan, media, dan ragam informasi lainnya. Belajar agama disimpulkan secara parsial, sempit, dan tunggal, sementara melupakan sisi-sisi lain persinggungan agama dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Give a little 
Kumpulan individu yang berpadu menjadi kolektivitas memiliki kekuatan lebih besar memainkan sistem pembangunan karakter di tingkatan kehidupan apapun. Tujuan pendidikan nasional membangun manusia seutuhnya adalah tujuan nasional yang harus menjadi puncak piramida yang harus diprioritaskan. Keberanian Gandhi untuk hidup sederhana dan melawan penjajah Inggris tanpa kekerasan, menjadi pemimpin sekaligus filsuf yang bijak seperti Konfusius, atau tata nilai yang dibawa Muhammad Saw yang telah mengubah wajah Arab yang jahil menjadi beradab, dari zaman kegelapan menjadi zaman yang penuh cahaya.
Perlu ada yang berkorban dan mengorbankan, karena sekecil apapun kontribusi turut pula mempengaruhi perubahan yang terjadi. Wendy Smith dalam bukunya yang berjudul ”Give a Little” menegaskan bahwa sumbangan sekecil apapun dapat mengubah dunia kita. Katanya (http://givealittlenow.com/bio.html), how small your donations can transform our world. Dalam perspektif pribadi,  tak mesti uang yang disumbang, namun sikap, perilaku, dan tindakan positif di dalam keluarga juga menjadi sumbangan berarti.  Bayangkan saja dari 12 bulan, seorang karyawan menghabiskan 8 bulan dalam pekerjaan, sementara keluarga hanya kebagian 4 bulan. Kalau penghasilan sudah mapan, lalu bisa memberi keluarga nafkah, itu masih sebatas makanan fisik, belum makanan jiwa. Saat tantangan makin besar dengan cakupan deviasi yang beragam, untuk bertemu setengah jam saja dalam makan malam antar sesama anggota keluarga di zaman sekarang sudah sangat sulit dilakukan. Ayah dan ibu bekerja, jadilah anak dititipkan bersama pembantu dan TV tercinta di rumah.
Atas dampak laten yang akan timbul di kemudian hari, sudah saatnya keluarga menjadi pertama dan utama yang dipikirkan. Ruang informal dalam keluarga dapat membantu satu sama lain yang saling menguatkan. Saya sepakat apa yang dikatakan Dan Wilcox dan Thad Mumford dalam "Identity Crisis” yang mengatakan “I don't care how poor a man is; if he has family, he's rich.”. Dalam pengertian itu, memiliki keluarga berarti adanya interaksi yang kuat untuk saling membantu, memberdayakan, dan mengembangkan satu sama lain. Semiskin apapun orang, selama ikatan keluarga kuat dan menyatu, maka harmoninya akan juga menular ke luar rumah dan dia menjadi kaya karena keharmonian yang tumbuh itu. Keluarga dalam pemahaman itu telah berfungsi menjadi school of love (sekolah cinta atau kasih sayang) yang memberi kedamaian dan kesenangan bagi seisi anggota keluarga.

Sin of crime of omission
Pembangunan jiwa sama pentingnya sebagaimana kita makan sehari tiga kali. Secara fisik kita kuat, namun dalam jiwa begitu rapuh. Itulah pentingnya pembangunan karakter yang harus diupayakan secara terpadu, terarah, dan terorganisasi dengan baik. Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan dengan kejahatan yang terorganisir. Berapa jumlah penyuluh anti narkoba dengan bandar narkoba? Satu bandar narkoba ditembak mati, tumbuh seribu calon bandar narkoba yang lahir. Mereka lahir dari lingkungan yang masyarakatnya acuh tak acuh, konservatif, lingkungan kumuh, dan termarginalkan yang luput dari perhatian kebanyakan kita selama ini. 
Menanti saja tidak cukup. Apalagi menghindari. Ketika dunia sudah berlari semakin kencang, sudah semestinya kita juga ikut berlari agar terjaga ritme dan keharmonisan antar sesama warga dunia. Ikut arus, tidak sama dengan terbawa arus. Sudah saatnya, setiap manusia saling berbagi visi dan impian, gagasan, dan sebagainya. Sebagaimana kata bijak yang mengatakan orang-orang baik yang tidak berbuat apa-apa lebih jahat dari pembuat kejahatan itu sendiri. Makanya kita kenal dalam dunia moral dan hukum adanya sin of crime of ommision yang membiarkan kejahatan terjadi begitu saja. 
http://nova.grid.id/News/Peristiwa/Indonesia-Darurat-Kejahatan-Seksual-Terhadap-Anak

Dalam posisi itu, orang jahat makin merasa diamankan dan didukung perbuatan jahatnya. Sama ketika seorang siswa dipukuli senior, namun hanya jadi tontonan siswa lainnya. Juga ketika seorang istri dipukul suaminya, para tetangga menganggap itu urusan pribadi. Terjadi pula, ketika guru senior menghukum siswa secara fisik, namun guru-guru junior hanya bisa terdiam. Pada akhirnya, orang yang baik hanya seperti patung dalam cenkraman kegelapan yang akut. Mereka hidup, tapi sesungguhnya mati. Tidak berbuat apa-apa mengubah keadaan, meski jumlah orang baik lebih berlipat ganda dari orang jahat. Dari satu kejahatan mampu merusak dua kebaikan, berlakulah prinsip di mana merusak sesuatu lebih mudah daripada membangunnya kembali. Pembangunan karakter di setiap aspek diharapkan dapat menjadi pelumas dalam membangun kehidupan yang lebih baik di tingkatan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari paparan di atas, bahwa LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menjadi sebuah tesis dari pentingnya perlindungan saksi dan korban. Orang baik memang tidak takut ancaman, namun akan lebih baik jika orang-orang baik tetap hidup, dan dilindungi kesaksiannya. Sampai tahun 2015, terdapat 633 pengaduan (perlindungan fisik, medis, psikologis, restitusi, kompensasi, dan pemenuhan hak prosedural). Untuk mengakomodir permohonan yang banyak dan dengan jumlah SDM sebanyak 215 orang, saya yakin sekali bahwa LPSK perlu mendapat suntikan SDM yang lebih banyak lagi. LPSK adalah kita, dan tanpa kita yang berani bersuara, LPSK takkan bernyawa. 










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...