Langsung ke konten utama

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com

Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu. 


Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.

 
Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina.

Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Secara historis, ini terjadi para perayaan 50 tahun Sumpah Pemuda. Soeharto mengawali pidato “"Tepat 50 tahun yang lalu, di Jakarta ini, lahirlah Sumpah Pemuda yang sangat terkenal: mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Akhirnya, sumpah ini pun tidak pernah dikoreksi dan masih dinyatakan “sah”. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah, adalah satu. Tidak ada kontestasi, dan mana yang harus dimenangkan. Inilah tantangan bahasa Indonesia ke depan. Jangan sampai regulasi memandang sempit bahasa daerah hanya berdasar banyak tidaknya pengguna, sehingga tidak layak menjadi referensi memperkaya bahasa Indonesia. 



Berdasarkan penelitian Adi Budiwiyanto (2009) bahwa Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011, tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa.

Bahasa Indonesia yang sudah semakin maju secara teks maupun kontekstual, dengan berbagai bahasa serapan yang diakui dalam KBBI, intinya agar “tidak kaku” digunakan baik dalam keadaan formal maupun informal, oleh karenanya bahasa yang digunakan harus baik dan benar sesuai tempat/kondisi (proporsional). Sensus Indonesia 2010 mengatakan bahwa ada 23 juta penutur asli bahasa tersebut. Selain itu, ada sekitar 156 juta orang yang berbicara itu sebagai bahasa kedua, yang menunjukkan sejauh mana itu merupakan bahasa pergaulan yang penting.
 

Dalam pandangan pribadi, selama saya berlabuh di beberapa daerah sampai ke pedalaman, bahasa Indonesia masih dimengerti, meskipun bahasa daerah lebih banyak digunakan, dan sampai ke istilah-istilah budaya itulah saya mulai “gagap”, dan saya agak kesulitan merespon, dan akhirnya saya hanya merespon ulang, sampai saya benar-benar mengerti maksudnya.

Di Aceh Singkil misalkan, ada beberapa bahasa antara lain, bahasa Singkil dan bahasa besisir yang mirip dengan bahasa minang. Kemudian ada bahasa pakpak, aceh, jawa, batak dan nias. Untungnya ada teman guru garis depan yang dapat segala bahasa aceh, sehingga sering tidak terlalu sulit dalam mendapatkan informasi dan memudahkan dalam bertransaksi.

Berbeda lagi ketika ke Timika, Papua, saya mendapatkan informasi dari teman yang sudah lama bekerja di Timika, dan katanya, ada sekitar belasan suku di Timika. Meskipun sering berkonflik, bagi warga di luar Timika atau bukan Papua tak akan bisa membedakan siapa yang suku A, dan siapa yang berasal dari suku B, C, dan seterusnya. Inilah “kegagapan” saya kedua, saat bertemu mereka, bahwa mereka terlalu lebih beragam. Saya mengenal Papua hanya “hitam” dalam benak saya, sesederhana itu.  Namun bagi suku-suku tersebut, mungkin dari bau badan, rambut atau bentuk muka dan postur badan, sudah saling mengenal satu sama lain.  Mungkin pelajaran “leadership” paling diuji bagaimana memimpin Papua, sehingga lingkaran keributan berubah menjadi lingkaran yang mengangkat Papua lebih maju dan bersatu. Namun, lebih dari itu, kita dapat menengok penelitian Paul Ekman di semua 5 benua dan 16 tahun di Papua membuat kesimpulan bahwa:  Ras Melanesia yang ada di Papua merupakan ras manusia terjujur terakhir yang disisakan di muka bumi ini. Dan itulah yang saya rasakan ketika berteman dengan orang Papua, mereka sepertinya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Menjalani hidup atau bagaimana mereka berbincang, begitu tulus, dan apa adanya.

Alhasil, dimanapun saya berada dari Aceh hingga Papua meski hanya beberapa hari, bahasa Indonesia begitu standar dipakai dimana-mana dan tidak ada yang tidak mengerti maksud saya, kecuali hanya ketika bertransaksi dalam membeli sesuatu di pasar rakyat, mungkin agak lebih mahal daripada yang mengerti bahasa daerah yang biasa dipergunakan secara informal.


Kesimpulannya, kita kurang bersatu, bukan karena kita kurang pintar berbahasa, namun lebih dikarenakan selama ini kita memandang bahasa hanya business as usual, belum dimaknai secara hakikat. Ini dikarenakan kajian-kajian bahasa daerah belum mumpuni, kita mungkin masih melihat secara kuantitatif, bahwa bahasa daerah yang banyak penggunanya lebih dihargai daripada yang hampir "punah" seperti suku Rampi dan suku Wandamen yang hanya digunakan 0,03 % penduduk Indonesia, sehingga kehilangan banyak penuturnya. 

Akhirnya, saya mengucapkan “Alhamdulillah” saya lahir dan tinggal di Indonesia yang disatukan oleh bahasa yang sama,  meskipun terlalu banyak kekayaan bahasa yang belum saya kuasai satu per satu, setidaknya inilah kekuatan sebuah bahasa yang telah meregenerasi namun masih menyatukan kita hingga kini. Bahasa Indonesia akan terus berkembang di kemudian hari. Bahasa Indonesia juga tidak perlu terlalu padat dan mutlak, karena masih banyak bahasa daerah yang perlu diserap sehingga makin menyempurnakan kesatuan yang terlihat dari bagaimana cara kita berbahasa. 

Komentar

Posting Komentar

Please do not enter any spam link in the comment box

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...

SUPERMAN ITU BERNAMA IBU: PELAJARAN MORAL PENTINGNYA PERAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK

Dunia pengasuhan di masa mendatang tidak lagi dapat dipersepsikan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Stereotip perempuan atau istri masih dianggap sebagai pihak yang lebih terampil dalam mengasuh anak dibandingkan laki-laki (suami), apalagi telah melekat dalam budaya kita. Namun, dengan berbagai tantangan di masa depan, pengasuhan anak membutuhkan kesetaraan peran antara suami dan istri menurut berbagai penelitian dan pengalaman. Pengasuhan dengan kesetaraan berkontribusi pada tidak hanya pada tumbuh kembang anak, tetapi juga pada hubungan antarorang tua. Dilema rumah tangga selalu berfokus bagaimana laki-laki saat ini tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama. Kadang bahkan sering kali, saat suami menganggur atau di-PHK, juga sakit, posisi perempuan sebagai ibu dan “manusia biasa” mengalami kebimbangan luar biasa, antara mengurus ekonomi rumah tangga dan mengurus anak yang sedang bertumbuh sekaligus suami yang sedang tidak baik-baik saja. Kondisi ini menjadikan “profesi” sebagai ibu a...