Langsung ke konten utama

Sekali lagi Soal Seragam

_Penulis: Muhammad Ivan_

_Pegiat Komunitas Baca Tulis Kota Depok_


Namanya saja seragam, ya untuk menunjukkan identitas yang tidak parsial dengan idea lembaganya dan tentu saja lingkungan dimana lembaga itu tumbuh dan berkelindan dengan nilai-nilai kearifan lokal. 

Seragam itu penting atau urgen? Kalau pakai pendekatan nalar, apapun motif dan warna pakaiannya tidak ada urusan dengan hak dan kewajiban sebagai siswa untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan. Jadi soal seragam tidaklah begitu penting. Lebih baik bebas saja ke sekolah mau pakai pakaian apa saja, yang penting etis (sopan, misal harus berkancing, dll).  

Namun kalau sudah memakai pendekatan budaya, maka berseragam sangat kontekstual dalam hal apapun, apalagi siswi/siswa yang sudah beranjak remaja (Akil baliq). Seragam SD dan SMP masih bercelana pendek, sementara yang SMA/SMK bercelana panjang. 

Pasca orde baru, ketika politik Islam sudah mulai memiliki pengaruh melalui gerakan partai atau pergerakan Islam di masyarakat, saat itulah kita sudah banyak menyaksikan khusus siswi SD dan SMP menggunakan jilbab dan rok panjang untuk menutupi auratnya. Apakah dilarang?

Sama sekali tidak ada kontestasi. Pergaulan antara siswi yang berjilbab dengan siswi tanpa jilbab tersatukan dalam kerja kelompok, tim olahraga, ekskul, dan lain sebagainya. 

Jika urusannya sudah menyentuh kearifan lokal yang sudah melekat dalam tradisi yang perlu dilestarikan, maka SKB menjadi persoalan ideologis, karena menyangkut idea dan identitas tata laku yang lebih dulu hidup. Jelas, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau  (LKAAM) Sumatera Barat menganggap SKB tersebut dinilai membuka peluang mematikan tradisi yang sudah lama menjadi kearifan lokal masyarakat.

Urusan seragam ini menjadi viral karena terjadi bukan di Bali atau dimana muslim pun tidak diperbolehkan menggunakan jilbab. Meskipun telah dilakukan investigasi, bahwa penggunaan jilbab itu semacam anjuran, bukan kewajiban, apa daya, SKB tetap diterbitkan. 

Soal sanksi terhadap sekolah yang masih melanggar SKB 3 Menteri, saya nilai ad hominem. Jika sanksi memberhentikan dana bantuan misal BOS dan instrumen sanksi lainnya, justru itu bukan membahayakan pemerintah daerah, namun membahayakan hal-hal yang berkaitan untuk mendukung mutu pendidikan secara langsung di sekolah. Sudah terhambat pandemi ditambah sanksi lainnya, tidak logis dan tidak elegan rasanya. 

Agak ironis jika kewajiban menggunakan jilbab bagi pemeluknya justru sekolah dianggap intoleran. Persoalan kita miskin 3 generasi bukan karena soal pakaian, namun korupsi yang merajalela bahkan hingga detik ini masih berlangsung. 

Filosofi SKB sebaiknya diformulasi ulang, kalau muncul kegaduhan, maka kritik itu bagian dari koreksi bukan menganggap pemerintah keliru, namun mengakomodir bentuk peraturan yang lebih adaptif dengan kekhasan daerah tertentu. 

Bhineka Tunggal Ika mencerminkan perbedaan bukan dalam halusinasi yang dipaksakan. Namun persatuan tersebut harus berasal dari dorongan (dari dalam) untuk mengekspresikan perbedaan yang saling mengisi dan menguatkan. Jadi bukan menyatukan perbedaan tersebut dengan satu alat saja, namun beragam alat yang akomodatif terhadap apapun daerahnya. 

Misalkan, ada anak tak pakai seragam nyelonong boy masuk ke kelas, jika saya kepala sekolah radikal, saya tetap membiarkan ia belajar di kelas tersebut. Bahkan saya tawarkan, besok datang lagi. Jika tidak ada seragam, yang penting belajar dulu. Sekolah bukan menara gading, ia harus mengakomodir masyarakat tak berpunya. Kalau perlu sekolah dibuka 24 jam, pagi sampai sore, dipakai siswa. Sore sampai malam menjadi pusat belajar masyarakat seperti PKBM.

Pertengkaran soal seragam ini sebaiknya dihentikan dan jangan terlalu lama dibiarkan, karena pekerjaan rumah mencapai kualitas pendidikan masih tersandera oleh adanya pandemi, yang belum bisa diprediksikan selesainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...