Teknologi di Sektor Pendidikan: Jangan Pakai Kacamata Kuda

Dalam empat dekade, perkembangan teknologi digital telah berhasil mengubah cara kita belajar, bersosialisasi, dan bekerja sekaligus memiliki potensi paling signifikan untuk mentransformasi pendidikan. 

Melalui industri teknologi pendidikan telah muncul dan fokus pada pengembangan dan distribusi konten pendidikan, sistem manajemen pembelajaran, aplikasi bahasa, augmented reality dan virtual reality, bimbingan belajar yang dipersonalisasi, dan pengujian. 

Baru-baru ini, terobosan dalam metode kecerdasan buatan (AI) telah meningkatkan kapasitas teknologi pendidikan, yang berdampak pada adanya spekulasi bahwa teknologi dapat menggantikan interaksi manusia dalam pendidikan. 

Selama pandemi Covid-19 (2020-2022), sektor pendidikan dapat merasakan bagaimana teknologi menjadi alternatif pembelajaran selama pandemi Covid-19. Kekuatan teknologi sepertinya memiliki kekuatan menyihir dan memaksa manusia untuk terus berinteraksi dengannya. Dari balita sampai manula, tidak ada satupun yang imun dengan perubahan ini, sampai pada akhirnya terbentuk profil masyarakat yang paradoks dan absurd.

Dalam konteks yang umum, teknologi membuat segala sesuatunya menjadi lebih efisien dan menghemat anggaran, namun di sisi lain, teknologi digital khususnya, lebih fokus pada hasil daripada menikmati prosesnya. Coba kita perhatikan karena kebijakan Ujian Nasional (2005-2020) memunculkan usaha bimbel-bimbel offline maupun online untuk mengajarkan trik cepat mengajarkan ratusan sampai ribuan soal. 

Di sekolah lebih parah lagi dimana guru mendrill siswa dengan soal-soal tiap harinya selesai pulang sekolah, karena UN menjadi syarat kelulusan. Namun pada tahun 2015, nilai UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Sekolah diberi otonomi untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswanya. 

Belajar tidak lagi dinikmati dan tak ada bedanya peran sekolah dengan bimbel-bimbel yang berseliweran di jagat maya dan nyata. Sampai titik ini, sudah hilang proses pembentukan karakter siswa. Ini baru satu ekses negatif. Ekses ini setidaknya sudah hilang dengan ditiadakannya Ujian Nasional (UN) sejak tahun 2020 da digantikan dengan Asesmen Nasional (AN) yang lebih komprehensif menilai mutu pendidikan, meskipun tidak secara khusus menilai individu.

Hemat saya sebagai penulis, UN tetap diadakan dengan mengubah format sebagaimana penilaian PISA (Programme for International Student Assessment), asalkan bukan sebagai syarat kelulusan, melainkan untuk memotret peta mutu pendidikan secara umum. Bahkan jika disandingkan dengan PISA yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pemerintah tinggal menitikberatkan pada substansi pembelajaran inti di sekolah yaitu membaca, matematika, dan sains. Daerah-daerah yang lemah mutunya dapat segera diintervensi melalui bimtek dan intervensi langsung unit-unit Kemendikbudristek yang ada di daerah.

Untuk nilai PISA, kondisi kemampuan anak-anak kita pada literasi membaca, matematika, dan sains masih jauh dari harapan. Bahkan di tingkat ASEAN kita masih kalah dan berada di peringkat ke-6 dari 8 negara ASEAN yang ikut tes PISA. dari Singapura (1), Vietnam (34), Brunei (42), Malaysia (55), Thailand (63), Indonesia (69), Filipina (77), dan Kamboja (81). Meskipun pemerintah menyatakan bahwa nilai PISA kita naik, namun tetap di ASEAN ranking kita tidak banyak berubah selama 20 tahun terakhir. Ini mengindikasikan bahwa mutu pendidikan kita jalan di tempat. 

Sumber: seasia.co, 2024

Dengan keberadaan teknologi digital yang semakin mutakhir dan massif digunakan sekolah, maka adaptasi teknologi menjadi penting, apalagi bagi individu guru yang ingin terus berkembang. 

Teknologi memang mengurangi gap (kesenjangan) bagi masyarakat yang terpinggirkan. Dapat dibayangkan, guru yang tidak dapat beradaptasi akan ditinggalkan siswanya, sebagaimana masyarakat lebih memilih ojek online dibandingkan ojek pangkalan. Persoalannya, gap yang semakin menganga akan menimbulkan persoalan sosial lebih banyak di masa mendatang dan membuat cost sosial pemerintah menyelesaikan masalah tersebut menjadi lebih besar, jika penggunaan teknologi digital dilakukan kebablasan, dalam hal ini, menggunakan filosofi kacamata  kuda, tidak tengok kiri, kanan, langsung jalan menabrak apapun yang menghalangi. 

Faktanya, lebih banyak guru yang tidak familiar dengan teknologi digital sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah metode dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan profil generasi yang sedang diajarnya saat ini. Pelajaran menjadi sangat membosankan dan rasanya kehidupan karir guru tidak menunjang lagi kreativitas untuk melakukan terobosan yang dapat membantu siswa berhadapan dengan realitas nantinya. Hanya mengulang-ngulang materi tiap tahunnya tanpa meng-update apa yang tantangan dan hal-hal yang sedang dihadapi siswa sebagai bagian dari masyarakat.

Jika kita saksikan dan pernah merasakan bagaimana suasana kelas sampai detik ini masih berpola satu arah dengan semua kursi dan meja menghadap papan tulis. Kondisi tersebut selayaknya sudah tidak relevan dengan transformasi teknologi yang saat ini terus berkembang tiap waktunya. 

sumber: https://schoolofparenting.id/

Lepas dari masih klasiknya ruang kelas, kita tidak dapat menafikan bahwa penetrasi internet sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2024) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Namun, sangat disayangkan bahwa jumlah pengguna yang banyak ini, internet hanya lebih banyak digunakan untuk hal-hal konsumtif daripada produktif, termasuk di sektor pendidikan. 


sumber: APJII, 2024

Hindari Kacamata Kuda

Problematiknya, teknologi digital digunakan secara sporadis dengan menggunakan kacamata kuda, yang tidak secara efisien dilakukan dalam pembelajaran di sekolah. Misalkan ada seorang guru yang memaksakan semua siswa membuat vlogging tentang isu tertentu. 

Bagi siswa yang memiliki gawai dengan RAM dan ROM yang besar, maka akan lebih mudah, namun bagaimana dengan sebagian gawai siswa yang hanya dapat digunakan untuk kebutuhan berkomunikasi dengan orang tua tanpa teknologi merekam mumpuni dan tanpa dapat mengunduh aplikasi penting untuk mendukung pembuatan vlogging tersebut. Inilah yang saya sebut sporadis, guru tersebut tidak salah karena bertujuan agar semua siswa dapat belajar learning by doing, namun guru tersebut tidak memahami bagaimana kondisi kejiwaan siswa dan keluarga, saat pada akhirnya siswa dari kalangan menengah bawah tersebut memaksa minta dibelikan orangtuanya gawai terbaru lengkap dengan teknologi mutakhirnya. Ini baru satu persoalan di tengah banyak hal faktual terjadi, misalkan ada seorang ayah yang nekat mencuri gawai untuk anaknya (cnnindonesia.com).



Penggunaan teknologi seharusnya memahami profil siswa, dalam kaitan, bagaimana kondisi sosial ekonomi yang bersangkutan dan berapa jumlah saudaranya yang masih sekolah. Misalkan, satu keluarga hanya menggunakan dan memiliki satu gawai, karena yang memiliki gawai hanya ayahnya, maka pembelajaran sinkronus dan pemberian tugas harus selesai di sekolah. Tentu jika semua guru memaksakan kondisi yang seragam pada semua siswa, maka akan menganggu kesehatan mental bukan hanya pada anak, tetapi juga orangtua. Ini baru satu mata pelajaran, bagaimana dengan mata pelajaran lainnya. Tentu akan jauh lebih rumit.

Teknologi digital harus selaras dengan kondisi yang diharapkan, tanpa mensyaratkan apapun pada siswa, misalkan sekolah yang melakukan terobosan dengan penggunaan tablet. Dalam implementasinya, tablet yang sudah berisikan semua materi pelajaran, profil siswa, sampai pada penilaian hanya digunakan dalam kelas dan tidak boleh dibawa pulang. Tablet tersebut terkoneksi dengan orangtua sehingga orangtua dapat memantau pelajaran apa yang sedang berlangsung.

sumber: kipin, pendidikan.id


Namun apakah pemerintah mau berinvestasi pada tablet untuk menggenjot mutu pembelajaran yang lebih efektif dan efisien, sehingga tidak ada lagi siswa yang membawa buku-buku, perlengkapan belajar, dan tas yang berkilo-kilo gram memberatkan punggung anak. Investasi teknologi dalam pendidikan idealnya bukan lagi membangun segregasi antara siswa kaya dan siswa miskin, namun bagaimana membangun hubungan keduanya dengan fasilitas yang setara dan tidak lagi ada siswa yang diuntungkan karena mengikuti les tambahan dan berbagai gratifikasi kepada guru, misalkan memberikan hal-hal yang tidak sepatutnya yang berdampak pada guru untuk tidak objektif lagi memberikan penilaian pada anak.

sumber: republika.co.id (foto istimewa. lokasi: edukasi untuk guru yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta UNY)
 
Teknologi dalam dunia pendidikan harus dipahami hanyalah sebuah tools (perangkat atau kendaraan) bukan tujuan. Teknologi hanya kendaraan yang dapat mengurangi gap, bukan menambah kesenjangan antara si kaya dan si miskin. 

Ke depan, guru sebagai ujung tombak pendidikan harus memahami profil siswa dan masyarakat, sehingga menjadi lebih arif dalam menggunakan metode dan pendekatan pembelajaran. Guru hebat dalam pembelajaran, bukan yang terpintar, namun yang dapat meng-upgrade siswa dari kognisi hingga mentalnya menjadi lebih kuat dalam menghadapi realitas kini dan di masa mendatang. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Teknologi di Sektor Pendidikan: Jangan Pakai Kacamata Kuda

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan