Langkah Kecil Menyelamatkan Anak dari Kekerasan

Tidak perlu perspektif yang sangat makro dalam melihat persoalan anak. Di sekitar kita, anak-anak banyak mengalami ketidakberdayaan karena posisi mereka yang subordinat sebagai anak, sebagai siswa, dan sebagai anggota masyarakat. 

Pernah saya menyaksikan seorang anak dipukuli ibunya bertubi-tubi di sebuah mall di bilangan Jakarta Timur. 5-10 menit saya coba menahan. Karena tidak ada satupun orang bahkan aparat keamanan seperti satpam yang menindak sang ibu tersebut. Orang-orangpun hanya bisa melihat tanpa berbuat apa-apa. Lalu, bismillah, saya menghampiri ibu tersebut. Saya katakan untuk berhenti dan menanyakan lebih lanjut mengapa anak ini dipukuli. Si ibu menjawab anaknya susah diatur, padahal kalau dilihat secara fisik, ternyata sang anak penderita autisme.  Dengan tegas, saya katakan padanya untuk ikut saya ke kantor polisi karena tindakan kekerasan tersebut. Si ibu memohon kepada saya dan minta maaf karena sudah menyakiti anaknya.

kasih sayang orang tua terhadap anak sangat penting
dalam tumbuh kembang anak

Kultur masyarakat kita yang pasif terhadap fenomena kekerasan di atas, adalah sebuah fragmen mentalitas masyarakat yang mulai kehilangan hati nurani. Persoalan itu kemudian dianggap “urusan privat” dan menjadi pembenaran untuk tidak berbuat apa-apa. Perlu ada yang memulai dan berani untuk bertindak menyelamatkan dan melindungi anak-anak dari kejahatan orang-orang di sekitarnya.  Tidak hanya di jalan, kebiasaan ibu-ibu yang mencubit, menjewer, dan memukul anak-anaknya perlu juga mendapat perhatian. 

Kita tidak pernah bisa imun dari kekerasan, dalam ruang yang berbeda, media yakni televisi seperti sinetron dan kartun dan internet seperti games online menawarkan bentuk kekerasan verbal yang diajarkan secara berulang dan justru mendapatkan rating yang cukup lumayan. Hal-hal yang sebenarnya tidak baik dan menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan sejak usia belia justru sangat digemari dan mendapat sponsor yang sangat banyak. Bandingkan dengan hal-hal yang berbau dakwah atau pesan-pesan agama, hanya terjebak pada kompetisi menghafal Qur’an dan kompetisi da’i yang paling jago berkata-kata. Agama hanya menjadi simbol, dan bukan memberikan perlawanan yang signifikan tanpa melihat adanya pergeseran yang sangat tidak memberikan ruang bagi anak untuk bertumbuh dan berkembang secara sehat. 

Habitus kekerasan terhadap anak hampir di semua dimensi dan level kehidupan terjadi. UU perlindungan anak secara hukum telah menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami. Begitupula, kebiasaan orang tua mendidik anak dengan kekerasan khususnya untuk mendisiplinkan anak sebagai pembenaran, akan diikuti sang anak di masa depan dan memperlakukan anaknya sebagaimana orang tua memperlakukan dirinya.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa perlindungan anak dari sisi regulasi sudah komplet. Mulai dari UU No 35 Tahun 2014, UU Traficking, dan UU KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) (Republika, 14 Agustus 2015). Persoalan sebenarnya bagaimana UU ini diturunkan di tingkat wilayah, yakni peraturan daerah. Tentu saja, visi Gubernur/Walikota/Bupati terhadap fenomena kekerasan anak menjadi hal yang sangat penting bukan sekadar untuk menghimbau, namun juga menyiapkan regulasi yang melibatkan pengambil kebijakan, pendidik, tokoh masyarakat, dan elemen organisasi di daerah untuk turut mensosialisasikan pelbagai kegiatan yang berpotensi mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, seperti di keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Di era Presiden Jokowi di bidang pendidikan, Mendikbud Anies Baswedan menempatkan keluarga sebagai muara dari pembangunan karakter bangsa. Melalui direktorat pembinaan pendidikan keluarga yang baru dibentuk sejumlah program sudah disiapkan, yakni: penanganan perilaku perundungan (bullying), pendidikan penanganan remaja, penguatan prestasi belajar, pendidikan Karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup, serta pendidikan pencegahan perilaku destruktif. Targetnya,  Kemendikbud sampai tahun 2019 menargetkan jumlah penduduk dewasa yang mendapatkan layanan pendidikan keluarga mencapai 4.343.500 orang (http://paudni.kemdikbud.go.id). Ini mengindikasikan bahwa pola pikir pemerintah terhadap perlindungan anak sudah mengerucut pada aksi untuk lebih mendidik orang dewasa. Jelas, sebaik apapun layanan PAUD, tanpa kualitas orang tua dan orang dewasa berguna untuk memutus mata rantai kekerasan anak di dalam keluarga dengan memberikan layanan meningkatnya akses dan mutu layanan pendidikan keluarga bagi penduduk Indonesia. Pendidikan keluarga yang akan diselenggarakan tidak hanya dimaksudkan untuk orangtua kandung, melainkan wali maupun orang dewasa yang bertanggung jawab mendidik anak.

Kenyataan di kapangan, kebiasaan guru memukul tangan anak dengan gagang penggaris  karena kuku yang belum dipotong (pengalaman saya waktu SD) atau orang tua yang memukul bokong anak dengan ikat pinggang, dan mengurung anak di kamar mandi yang sangat gelap ketika membuat suatu kesalahan, bahkan lebih sadis lagi, meninggalkan anak di pusat perbelanjaan karena tidak kunjung berhenti menangis (pengalaman saya menemukan anak yang ditinggal orang tuanya yang ternyata sengaja meninggalkannya di Pasar Kebun Sayur, Balikpapan). Tragis sekali, bagaimana cara klasik dalam mendidik anak dengan cara-cara yang sangat tidak memuliakan anak yang secara akal masih belum bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Untuk itu, ada beberapa langkah preventif  untuk melindungi anak dari kekerasan yang terjadi di lingkungan terdekatnya, yakni:
  1. Dalam level pendidikan, pihak sekolah bekerjasama dengan komite sekolah dapat menyelenggarakan pelatihan atau talkshow untuk orang tua/wali dan bersama tokoh masyarakat di sekitar sekolah yang berkaitan dengan pentingnya kasih sayang terhadap anak. diskusi dan dialog produktif perlu terus dilakukan antara sekolah, komite sekolah, dan masyarakat untuk bekerjasama mengurangi tingkat kekerasan anak di level mikro.  
  2. Dalam level sosial, pimpinan RT/RW  dan kecamatan dan warga masyarakat dapat memulainya dengan menjalankan fungsi edukasi melalui PKK, Posyandu, dan Puskesmas untuk memberikan arahan dan saran kepada orang tua untuk mendidik anaknya dengan kasih sayang bukan kekerasan.  Melalui organisasi pemuda seperti remaja masjid atau perkumpulan pemuda gereja dapat meng-edukasi masyarakat di sekitarnya. 
  3. Dalam level budaya, diperlukan ketegasan hukum terhadap industri televisi yang semakin tidak edukatif dalam pengembangan moralitas warga. Bahwa budaya kekerasan sangat menular bagi warga dan dapat membentuk mentalitas yang merusak tatanan sosial masyarakat.

Namun kita juga perlu memberi efek jera setelah semua komunitas melegitimasi dan dicerdaskan bahwa kekerasan bukanlah budaya, melainkan tindakan kriminal, sehingga tidak ada lagi istilah untuk mendisiplinkan anak dengan kekerasan. Lebih dari seorang tetangga, atau pejalan kaki, kita perlu menghentikan segala bentuk kekerasan tersebut dimanapun jalan yang kita lewati. Dengan menggunakan kamera handphone, kita bisa merekam aksi kekerasan tersebut untuk menyelamatkan anak dari kekerasan orang tua atau lingkungan tempat tinggalnya sebagai bukti untuk melaporkan tindak kejahatan, bukan hanya menjadi tontonan di youtube. 

Kita pernah menjadi anak di masa lalu, dengan berbagai perlakuan yang pernah kita alami, baik atau buruknya, memberikan dampak pada kehidupan kita saat ini. Dengan langkah kecil seperti membuat catatan singkat anak bangsa ini seperti buih di lautan atau secuil kisah dari jutaan kisah anak bangsa yang mungkin saja dapat menyelamatkan jutaan anak-anak yang belum mendapatkan perlindungan jiwa raganya untuk tumbuh berkembang dalam suasana yang sehat, nyaman, dan aman. 

#catatananakbangsa #70thHUTRI  #SOSChildrensVillages 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Teknologi di Sektor Pendidikan: Jangan Pakai Kacamata Kuda

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan