Langsung ke konten utama

PAUD dan Masa Depan Generasi Emas


Tidak ada guru negeri, tidak ada guru swasta, semua guru adalah guru bangsa. Begitu Winarno Surakhmad, Guru Besar UNJ berujar. Guru harus dihormati, bukan karena penghasilan, melainkan dedikasinya. Dedikasi itu terwujud dalam harmoni meliputi konsistensi antara pikiran, perasaan, dan tindakan.

Pendidik tidak hanya guru, namun juga kecenderungan orang tua yang menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anak an sich. Orang tua dan masyarakat seharusnya tidak sembunyi tangan. Pendidikan anak tetap berada dalam tanggung jawab orang tua, sementara guru hanyalah partner dan fasilitator dalam menunjang kebutuhan anak dalam belajar.

Ketika banyak anak yang tidak tertangani dan ditelantarkan, maka efek dominonya pada lingkungan sosial juga besar. Jumlah anak dibawah 15 tahun sekitar 30 % dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah itu akan terus membengkak seiring laju pertumbuhan penduduk.  Tentu saja, tidak mudah menjalani skenario generasi emas 2045 mengingat dengan segudang kompleksitas permasalahan pendidikan. Proyek peradaban generasi emas 2045 harus dimulai dari pendidikan yang paling berpengaruh di usia emas anak yakni usia 0-6 tahun yang ada di lembaga PAUD.


Multiplier Effect PAUD
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat pada rentang 2005-2011 terjadi peningkatan jumlah PAUD dari semula 21,2 persen menjadi 34,54 persen yang juga diiringi dengan penyebaran PAUD di seluruh wilayah Indonesia. Kualitas pengajar PAUD juga kebanyakan sebanyak 80 persen tenaga pengajarnya  bukanlah berasal dari sarjana pendidikan anak usia dini.  Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa banyak  guru PAUD ini dibayar rendah dengan tetap mengajar profesional, tidak pulang sebelum waktunya mesti dibayar rendah (guru honor, guru tidak tetap, guru bantu, dan guru PAUD), harus memiliki pekerjaan kedua untuk menutupi anggaran belanja keluarga, dan berbagai bentuk dedikasi yang sayangnya masih banyak guru “Umar Bakri” ini yang luput dari perhatian pemerintah.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, ada dua stakeholder yang sangat berkepentingan yakni universitas dan dinas pendidikan propinsi (kabupaten/kota). Universitas yang terletak berdekatan dengan PAUD dan dinas pendidikan di daerah dapat bekerjasama untuk membuat skema mikro yang dimulai dengan (1) mendaftar ulang jumlah guru PAUD dan sebarannya di daerah, sehingga distribusi guru PAUD dapat diatur sedemikian rupa agar antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak begitu timpang. Dalam artian, subsidi bukan hanya berupa mata anggaran per guru dan per PAUD, tapi subsidi perhatian untuk memeratakan kualitas pelayanan PAUD. (2) Universitas membangun struktur kurikulum pelatihan untuk guru PAUD lulusan SMA/sederajat secara bertahap. Tahapan pertama, prakondisi dengan Fokus Group Discussion (FGD) untuk mengetahui sejauh mana pemahaman guru PAUD terhadap masalah-masalah PAUD di lembaganya masing-masing. Tahapan kedua, mengajarkan metode-metode pengajaran dan pengasuhan anak. Tahapan ketiga, guru PAUD diberikan kemampuan untuk membagi keilmuan pengasuhan anak kepada para orang tua yang memiliki latar belakang yang lemah tentang pengasuhan.

Konsistensi
Tidak ada siswa yang pintar atau bodoh, yang ada siswa yang malas. Siswa yang malas merupakan hasil akumulasi dari lingkungan yang membentuknya. Pola pengasuhan yang buruk dan ditambah kurangnya motivasi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya ke lembaga PAUD, makin memperburuk kondisi anak. Satu Desa Satu PAUD merupakan suatu keniscayaan untuk melebarkan sayap PAUD di daerah, dan untuk masyarakat terpinggirkan (khusus perkotaan).

Dengan kekuatan dedikasi yang besar dari para guru PAUD dan perhatian pemerintah pusat/daerah untuk lebih menitikberatkan pada kualitas pelayanan PAUD. Partisipasi anak dalam PAUD sudah cukup mumpuni, karena dari segi biaya, jarak, dan suasana kekeluargaan yang harmonis antara guru PAUD, orang tua, dan masyarakat setempat adalah modalitas berharga dalam pengembangan PAUD.

Investasi sumber daya merupakan tahapan jangka panjang yang perlu dijalankan secara konsisten dan penuh gairah. Keuntungan langsung yang diterima orang tua dan anak adalah bagaimana nantinya orang tua memiliki kemampuan dalam pengasuhan anak. Sementara anaknya sendiri memiliki arena belajar di PAUD untuk tumbuh kembang yang tidak didapatkannya di rumah.

Dengan konsistensi penyelenggaraan PAUD dan dedikasi guru yang luar biasa tadi, melalui studi yang dilakukan oleh Rolnick & Grunewald (2003) di Wisconsin, Amerika Serikat, bahwa penyelanggaran PAUD memiliki multiplier effect yang salah satunya berimbas pada pengembangan ekonomi di daerah. Hasil studinya menemukan bahwa setiap $1 dollar yang diinvestasikan pemerintah dalam program PAUD berkualitas tinggi, akan dikembalikan ke negara sebanyak $8 sampai $16 dollar dalam bentuk investasi, menciptakan lapangan pekerjaan, orang tua akan memiliki waktu lebih produktif untuk bekerja, mengurangi stres orang tua, mengurangi angka kejahatan dan mampu menghemat anggaran negara. Mengingat anak yang berasal dari keluarga miskin di Amerika mencapai 21,9 persen, sekitar seperlimanya (DeNavas-Walt: 2011).  Bukan tanpa dasar, mengapa PAUD menjadi instrumen utama pembangunan ekonomi di negara bagian Wisconsin tersebut.

Satu Desa Satu PAUD, bukan sekadar impian saja. Dengan itikad yang kuat dari guru bangsa dan dengan political will dari pemda (dinas pendidikan) dan dikoordinasikan dengan pemerintah pusat bersama partisipasi masyarakat yang semakin menguat, bukan mustahil, program pelayanan kualitas PAUD akan semakin baik dan pemerataan Satu Desa Satu PAUD dapat segera diimplementasikan. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...