(Tanggapan
terhadap Opini Sidharta Susila)
Pendidikan mengubah peradaban, dari biadab menjadi beradab. Begitupun guru,
harus terlibat, memikirkan arah bangsa ini mau dibawa kemana. Negara ini bukan
soal politik atau mereka yang terlibat dalam politik, justru guru berperan
besar membawa arah bangsa ini kemana akan berlabuh, menepi, dan berlayar di
jagat raya.
Tulisan saudara Sidharta Susila yang dimuat di harian ini (6/03/2017) saya
simpulkan sebagai upaya menjadikan guru seotentik mungkin dalam bersikap,
terlebih dalam urusan politik praktis. Namun yang saya perlu garis bawahi, politik praktis yang dilakukan oleh
guru cenderung bukan dilakukan secara sengaja, melainkan mengamankan posisi/kedudukannya
sebagai guru atau kepala sekolah.
Di beberapa daerah yang telah saya kunjungi, terkhusus di sekolah di daerah
3T, ketakutan akan mutasi menyebabkan guru bersilat lidah meyakinkan siswa yang
sudah mumpuni ikut pilkada untuk memilih apa yang telah dipesan oleh penguasa
daerah setempat. Propaganda sangat kental dilakukan, karena intimidasi halus
dan sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan menengah (SMA/sederajat) adalah
lumbung suara yang sangat signifikan. Secara keseluruhan, jumlah siswa SMA sederajat hingga per 7 Maret
2017 sekitar 8.116.355 orang (pemilih pemula sekitar setengahnya) dan jumlah
guru sekitar 614.903 orang (data ini belum termasuk MA/santri).
Dalam tulisan saya yang pernah dimuat kompasiana, saya tekankan bahwa
kepala sekolah dan guru sangat rentan terlibat langsung dalam politik praktis,
karena tidak ada pilihan lain. Intimidasi dan manipulasi sangat kental
dilakukan penguasa dengan ancaman dimutasi ke kabupaten yang paling jauh. Hal
ini sudah biasa terjadi, terlebih di daerah 3T.
Dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2015 yang berimplikasi pada berpindahnya
kewenangan kabupaten/kota untuk urusan pendidikan menengah ke pemerintah
provinsi secara tidak langsung memotong arus mutasi yang biasa terjadi di
tingkat kab/kota dan memindahkan pusaran pengaruhnya di skala yang lebih luas,
untuk menata distribusi agar tidak terjadi disparitas jumlah guru antar daerah.
Ini menjadi jawaban agar jumlah guru perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah
provinsi dengan harapan kualitas pendidikan menengah lebih baik dan terhindar
dari manipulasi dan intimidasi dari penguasa di tingkat kab/kota.
Pedagogi kritis
Negara ini merdeka, saya yakin guru di masa lampau tidak tinggal diam dalam
merebut kemerdekaan. Tiap guru mengikuti arus zaman yang terus berubah dengan
cara dan gaya yang berbeda dalam menentukan sikap politiknya. Namun, di era
digital yang lebih massif, guru perlu memberikan perspektif yang tidak tunggal
terhadap apa yang diyakininya sebuah kebenaran, memberikan sebuah
pilihan-pilihan, bukan memberitahukan atau mendikte apa yang disebut kebenaran,
namun menunjukkan bagaimana kebenaran itu dalam realitas sesungguhnya, sehingga
siswa mampu menggunakan daya pikir kritisnya untuk menggelorakan keberpihakan
pada yang lebih baik untuk rakyat.
Tanpa disadari, pemikiran Paulo Freire tentang pedagogi kritis telah masuk
ke dalam kurikulum 2013, bahwa realitas perlu dipertemukan dalam ilmu
pengetahuan, sehingga siswa secara sistematis dan logika pengetahuan yang tepat
mampu merepresentasikan ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Aspek
afektif dan motorik ikut menimbang apa bahan bacaan apakah sudah cukup mumpuni
mengajarkan siswa tentang sesuatu hal.
Jika afeksi sudah ikut terlibat, siswa mampu membaca konteks dengan
melibatkan emosinya, berarti siswa telah menjadi bagian dari objek yang
diketahuinya. Dalam posisi tersebut, membaca konteks dalam teks perlu dipahami
guru sebagai jembatan agar sebuah topik pembelajaran menjadi menarik dan renyah
dikunyah sebagai nutrisi yang menjadikan siswa kebal antipati terhadap hal-hal
yang jahat.
Jangan menjadikan siswa abstain terhadap politik, membisu terhadap masalah
khalayak, terlebih di era media baru, yang penuh hoax, guru menjadi panutan dan
pintu pengetahuan yang diketuk siswa ketika ada kebenaran yang semu atau
keburukan yang bernilai. Dualisme benar-salah, baik-buruk, bukanlah hal yang
tunggal, konteks bisa menunjukkan yang
salah adalah benar, yang benar itu salah. Bahwa guru bukan segalanya, guru
hanya mempertimbangkan bagaimana nilai-nilai itu dikontekstualisasikan agar
siswa tidak terjerumus dalam kedamaian yang salah, ketenangan yang melenakan,
dan kenyamanan yang meminggirkan hak orang lain.
Jika guru diam dan tidak menampilkan apa yang seharusnya diumumkan dalam
sebuah diskusi ke siswa, maka guru abai terhadap nutrisi politik, misal
bagaimana seharusnya sikap siswa terhadap politik uang? Mainstream penguasa
hadir di kedai kopi, black campaign,
hoax lewat meme, kebenaran ditutupi oleh pengkultusan terhadap penguasa tanpa
melihat sisi gelapnya, betapa rakyat semakin miskin, bodoh, dan terpinggirkan.
Diamnya masyarakat karena ketiadaan guru terhadap realitas, itu biasa. Namun
ironis, apabila guru yang jumlahnya jutaan dan siswa yang berjumlah hingga ¼
jumlah total penduduk, 56 juta siswa, berakhir menjadi warga negara yang tidak
mampu bercengkrama dengan politik secara lugas.
Buta politik
Dari segala buta, buta yang paling buruk adalah buta politik. Dalam politik
ada benarnya tidak ada kawan dan lawan sejati, kawan bisa jadi lawan, begitu
sebaliknya. Tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, merupakan cikal bakal menjadikan
siswa agar menjadi warga negara yang dapat berbicara mewakili masyarakatnya,
mendengar apa yang diderita tetangga dan sekitarnya dan juga terlibat dalam peristiwa politik
dengan memilih wakil rakyat.
Sebagai misal, berpuluh tahun di era orde baru hingga reformasi, kita masih
saja suka memberi tip untuk petugas yang membuatkan KTP atau surat keterangan
di kepolisian. Inilah yang menjadikan bahwa tujuan pendidikan nasional tidak
sebangun dengan realitas yang diharapkan. Dan jika dunia pendidikan bungkam
terhadap peristiwa politik, maka semangat untuk mengubah dan berubah semakin
menyenangkan penguasa tunggal, politik dinasti, politik uang, dan tidak adanya
jiwa-jiwa pemberani untuk maju di kancah politik.
Tulisan saudara Sidharta sebenarnya lebih kepada keinginan agar guru tidak
berpihak, namun saya yakin guru perlu menampilkan keberpihakan pada kebenaran
tanpa menyebutkan siapa penguasanya dan siapa lawan politiknya. Dalam realitas
politik praktis, guru hanya menjadi objek, bukan pemain seperti media
massa/elektronik/baru. Panggung yang nyata bagi guru, agar siswanya tidak
gampang diakali atau dibodohi oleh isu mayoritas-minoritas, agama, dan apapun
yang mengendalikan umat manusia. Siswa berdiri tunggal, berpikir dengan pijakan
nurani dan pikirannya yang masih bersih.
Komentar
Posting Komentar
Please do not enter any spam link in the comment box