Langsung ke konten utama

Film Bidadari Surga: Nangis nonton film ini


Film yang berhasil membuat saya menangis
Kode M-TIX : BIDA
Jenis Film : Drama
Produser : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Produksi : STARVISION
Sutradara : Sony Gaokasak


Di bulan november-desember, saya senang sekaligus bahagia, karena sudah menonton dua film Indonesia berkualitas, yakni Hello Goodbye dan Bidadari Surga. Ngga rugi keluar uang, yang penting pada saat exit dapat “sesuatu”. Ya, apalagi kalau lagi ngga mood baca buku, ujung-ujungnya pasti nonton.  

Sedikit tentang Bidadari Surga. Menceritakan tentang pengorbanan seorang kakak tertua demi keluarga, merawat mamak dan adik-adiknya di Lembah Lahambay. Terlahir  berbeda dari adik-adiknya, Laisa, hitam dan kribo, tidak suka senyum, pekerja keras, dan serius. Sifat-sifat bawaan itu yang membuat Laisa dijauhi laki-laki. Dali, mungkin yang paling mengerti dan penurut, termasuk paling pintar di banding yang lain. 

Beranjak dewasa, Lais mempertanyakan mengapa Dali belum menikahi Chi, padajal mereka sudah pacaran tujuh tahun. Dali melawan dan mengatakan takkan menikahi Chi, karena tidak mau melangkahi Laisa.
Saat Dali menikah, Dali mulai mempromosikan Laisa ke kolega-koleganya, termasuk ustadz yang suka berceramah tentang perjodohan. Namun tetap saja, ustadz yang mengatakan menikahi seorang istri karena hatinya, bukan fisiknya. Apa daya, pada saat sang ustadz menemui dan sudah melihat wajah Laisa, justru dengan berbagai dalih, ustadz tersebut mengalihkan pembicaraan tanda penolakan. Bedebah!

Sampai akhirnya, Laisa bertemu dengan Darma, teman Dali. Batin Laisa yang sudah senang, apalagi dengan sifat-sifat dewasa Darma akhirnya terpukul karena Darma menikahi Laisa, bukan karena cinta, tetapi masukan dari istrinya. Saat Laisa sudah bisa menerima status Darma yang sudah menikah, namun Darma pulalah yang menyakiti Laisa dengan membatalkan akad nikah, saat tahu istrinya positif hamil. Berikutnya, Laisa fokus bekerja di perkebunan strawberry dan seolah tak ada apa-apa.

Bertubi-tubi Laisa harus bersabar dan menutupi luka di hatinya, terlebih saat pertunangan Wibisana dan Ikanuri, laisa sakit kanker paru-paru. Namun Laisa tak tega menghambat pertunangan dan menjadikan sakitnya sebagai alasan yang membuat mereka sedih. Sampai di penghujung film, adik terakhir Laisa, Yasmina menikah, Laisa masih melajang dengan kanker yang semakin akut.

Beberapa kritik untuk film ini, mengapa mamak, sang ibu secara fisik tidak berubah, raut muka, bahkan Laisa berubah drastis dengan gigi ompongnya? Seharusnya make up artisnya membuat mamak kelihatan lebih tua, renta. Begitupula dengan fisik Dali, Wibisana, Ikanuri, dan Yasmina tidak ada perubahan. Berikutnya, pekerjaan Wibisana dan Ikanuri tidak begitu jelas, seperti Dali dan Yasmina, terlihat ketika adegan mereka berdua sedang berada di bandara negara lain?

Dari kritik tersebut, saya secara jujur sangat terharus dan beberapa kali hampir pecah tangis saya melihat ketabahan dan pengorbanan Laisa, demi kebahagiaan keluarganya, ia rela menyembunyikan luka, derita, yang dialaminya. Banyak pesan moral di film ini, salah satunya, adalah pentingnya untuk berkorban dan tidak egois, sikap pantang menyerah, dan rasa cinta terhadap keluarga yang melebihi pekerjaan, karir, dan lain sebagainya.  Bidadari Surga, ya, sesuai judul filmnya, menterjemahkan Laisa sebagai salah satu bidadari tersebut.

Wajib tonton!  





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...