Langsung ke konten utama

UNTUNG SAYA BUKAN ATLET



Konflik di PSSI belum selesai, ditambah kekalahan Indonesia di ajang piala AFF. Jujur saja, sebenarnya apa yang bangsa ini bisa banggakan? Bulu tangkis, kita bukan lagi kampium juara. Bahasa pesimis, banyak dilontrakan kritikus, namun melihat langsung para pemain yang kesejahteraan masih jauh dari cukup, ada sebagian besar di antara mereka berduka di masa tua. 

Untung saya bukan atlet. Saya keberatan, saya dibilang egois. Hanya saja, kita harus menjadikan atlet sebagai profesi kedua, bukan yang utama. Pelajaran yang saya dapatkan hari ini, saya mengikuti latihan basket pertama saya di Seskoal BSD. Pulang dari kantor, jemput teman di seberang shelter Karet. Motor ngebut mengejar sholat magrib, makan malam, dan sempat melaksanakan Isya, baru deh tenang mengikuti latihan dari jam 8 sampai jam 10 malam. 

Dua cedera di malam itu, pincang. Saya tidak tahu bagaimana nasib mereka besok kerja. Saya hanya berpikir, cedera yang mereka alami apakah akan ditanggung oleh perusahaan. Tidak mungkin, ketika cedera mereka serius dan akhirnya tidak masuk kerja berhari-hari, PHK tinggal menunggu waktu.

Saya hanya menyarankan untuk rekan-rekan yang sudah bekerja menjadikan olahraga sebagai rekreasi, bukan adu otot, hingga cedera menimpa. Meski tidak disengaja, namun tetap saja, yang dikorbankan adalah keluarga. Kita bekerja bukan untuk olahraga, tapi untuk mencari uang. Lebih baik saya pragmatis, langsung saja ke titik masalah. Saya memutuskan hari ini, untuk tidak lagi serius menjalani latihan apapun itu, futsal atau basket, dan lain sebagainya. Dua olahraga yang paling aman, menurut saya adalah lari, bersepeda, dan berenang. Itu saja. Cukup. 

Sepanjang perjalanan saya hanya berpikir dan merenung, dan akhirnya hanya menghimbau kepada teman-teman yang suka berolahraga untuk tidak melupakan tujuan utama kita bekerja, mencari nafkah untuk keluarga tercinta. Saya tidak meminggirkan pentingnya olahraga, hanya saja, kalau memang Indonesia mau berjaya di bidang olahraga, caranya mudah, sediakan saja taman, lapangan, dan ruang publik untuk warga mengaktualisasikan olah fisiknya di sana. 

Saya kadang miris, melihat tak ada lagi lapangan bola, anak-anak terbiasa main di pinggir jalan, di gang-gang, di bawah kolong jembatan. Ruang publik makin terpinggirkan ruas jalan yang makin meluas untuk menguntungkan pengguna kendaraan pribadi. Jam 12 malam kurang dikit saya sampai di rumah dan saya rasakan letih, lelah, paha pegal, muka berdebu. 

Syukurnya, saya tidak cedera dan sebelum itu terjadi, saya gantung sepatu mulai malam ini. Selesai.

Taman Mini, 12 Desember 2012



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...