Langsung ke konten utama

Destinasi Terakhir Karakter Bangsa


Perjalanan ke Lombok hari ini, agak kesiangan dikit. Hampir ketinggalan pesawat, untungnya macet ngga terlalu parah. Jadinya, sebelum jam 8 sudah sampai terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta. Sempat makan nasi goreng dengan harga Rp 25.000, mahal banget, karena ngeliat Pak Cecep yang lahap makan nasgor, jadi ikutan deh. Sebelum berangkat, saya memang sudah merencanakan bertemu Hisyam, sahabat saya waktu kuliah di jurusan PLS UNJ. Sekarang Hisyam bekerja di BPPaudni Regional V Provinsi Nusa Tenggara Barat, setelah sebelumnya menjadi dosen di jurusan PLS UNJ.

Kali ini, saya  bersama rekan-rekan menko kesra yang lainnya ditugaskan menyelenggarakan Rakor Pembangunan Karakter Bangsa di Nusa Tenggara Barat pada hari Kamis, 6 Desember 2012, tepatnya di Hotel Lombok Raya, Rinjani Ball Room 3. 

saya di depan gedung Dinas Dikpora Provinsi NTB
Di sinilah menunggu sekitar 30 menit taksi blue bird
jadi sempetin foto2 dulu aja deh....he he 
Beberapa minggu sebelumnya, saya memang yang berkoordinasi dengan Baiq Risa Fitriani yang akrab disapa dengan Mba Ica, seorang pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan, Olahraga, dan Pemuda Provinsi Nusa Tenggara Barat. Atas kerjasama, informasi, dan kesediaannya sangat mempermudah kami, terutama Pak Iman Gunadi dan Pak Hadri Pasaribu beserta saya yang menghadap Kepala Dinas Dikpora NTB H.L. Syafi’i.

Dari informasi yang Pak Syafi’i sampaikan, kelihatan sekali beliau adalah orang yang sangat memperhitungkan detail kegiatan. Bukti ia bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatan ini. Apalagi dihadiri oleh Gubernur NTB DR.KH. M. Zainul Majdi, MA yang juga akan memberikan arahan, sambutan, dan membuka kegiatan ini secara resmi. Kegiatan ini juga akan dihadiri oleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof. Dr. Abdul Jamil, MA dan KH Hasyim Muzadi.

Sore harinya, saya mengupload email bahan paparan Prof  Abdul Jamil yang sudah dikirim Pak Farhan dan Mba Rida, yang merupakan staf Prof Jamil, yang harus saya print dan segera difotocopy. Lalu, saya dan Tisna, salah seorang staf bagian persuratan menko kesra melaju ke Tukang Fotokopian terdekat. Di depan hotel, saat kami sedang melongok kanan-kiri, depan-belakang, tukang ojek sudah menodong kami dengan pertanyaan "tidak ada tempat fotocopy di sana, harus ke belakang.", katanya. Lalu saya tanya "Berapa?". "5000", jawabnya dengan nada santai. Beginilah kalau melongok-longok, ketahuan jadi turisnya yang akhirnya "ditembak" dan kalau tidak naik ojek, rasanya gimana gitu.

Sore harinya, pukul 5, saya dan beberapa kawan lainnya yang sudah menyelesaikan tugasnya,  berenang, memanfaatkan waktu sempit kami yang hanya 48 jam di NTB. Karena Jum'at pagi, kami bersegera kembali ke Jakarta. Tidak ada kata jalan-jalan, karena waktu yang sempit. Meregangkan otot dengan berenang, membuat kami sedikit refresh untuk menghadapi rakor besok yang juga sangat membutuhkan tenaga dan pikiran yang fresh.

berenang sebentar, mengusir kepenatan
Pak Iman, Pak Dwi, Pak Sugi, Pak Darman, dan Saya

(bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upgrading Penulisan Forum Idekita FIP UNJ

Minggu pagi (1/12/2013) rekan-rekan Forum Idekita mengundang saya sebagai fasilitator dalam pelatihan penulisan. Pesertanya luar biasa banyak, 8 orang. Apalah arti sebuah angka, tanpa kualitas. Suasana dingin dan kampus yang sunyi menambah suasana terasa tenang dalam menjalani proses pelatihan. Peserta melakukan simulasi penulisan di Teras Gedung Daksinapati, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Kampus A Rawamangun Di luar batas normal Hal pertama yang saya utarakan adalah pentingnya menulis di luar batas normal. Kenormalan selama ini yang kita kenal, adalah kuliah harus punya laptop, belajar baru bisa optimal kalau sudah makan 3 kali sehari, harus dapat uang jajan untuk dapat beli buku, dan setumpuk kenormalan lainnya. Kalau tiba-tiba, situasi berubah dan berbalik, akan seperti sikap apa sikap kita? Apalagi dalam hal tulis-menulis, dapat dipastikan menulis menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Pada dasarnya, menulis tidak butuh kenormalan, namun butuh kon...

Kurang Bersatu Karena Hanya Pintar Berbahasa Namun Tidak Memaknai Bahasa

sumber: http://dunia-kesenian.blogspot.com Tahun 1928, bukan tahun yang mudah bagi para pemuda dari berbagai suku dan bahasa (sebelum negara Indonesia lahir) untuk berbincang. Sebagian dari mereka yang tidak berbahasa Indonesia, bahkan akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Mungkin, bagi Milenial, mereka akan menertawakan betapa repotnya dalam berkomunikasi kala itu.  Bayangkan saja, mereka bersatu meskipun belum memiliki satu bahasa yang setara, namun mereka memaknai bahasa bukan hanya dengan kata, namun juga saling pengertian yang sepadan. Menemukan bahasa yang semakna.   Dan entah bagaimana pula, hingga kini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang patut diperhitungkan dalam kancah global. Setidaknya di beberapa negara, bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di negara Australia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina. Lepas dari sejarah yang mengatakan bahwa kala itu, sebenarnya poin ketiga tidak menyatakan “mengaku berbahasa Indonesia”, namun “menjunj...

Biskota dan Pentingnya Memuliakan Perempuan

Tiga tahun lalu, pukul 11 malam. Saya menunggu Patas P17 jurusan Kampung Rambutan di depan ITC Cempaka Mas. Baru kali itu, saya menunggu 2 jam lamanya. Hanya menunggu dan menunggu. Kalau saya memaksakan naik taksi, maka keluar uang Rp 70.000 menuju rumah kontrakan saya di Pintu II Atas, Taman Mini. Daripada uang melayang, dan uang itu bisa saya gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih penting. Dari kejauhan, saya merasa bahagia dan bukan hanya saya, puluhan penumpang lainnya yang rata-rata adalah pegawai toko di ITC Cempaka Mas. Situasi tak terhindari, semua berlarian menuju bus, dan saya terhimpit, terjepit, kaki meregang sepanjang Bus membawa penumpang ke tujuan. Saya sempat berceloteh, ketika Bus yang sudah penuh itu harus berhenti dan menarik penumpang lebih banyak lagi, hingga bernafas pun sangat sulit. Oksigen, adalah nyawa untuk bertahan dalam bus-bus malam yang sangat sedikit armadanya. Terlebih, setelah Busway menjadi primadona angkutan massal. Saya bilang ...