Rumah kontrakan adalah rumah, tetap dinamakan rumah, selama ia layak untuk dijadikan tempat untuk tidur, menunaikan lelap yang melelahkan. Sampai akhirnya, kita tiada, rumah surga atau neraka, tempat kita berikutnya, adalah pilihan-pilihan hidup yang kita buat selama di dunia. Lepas dari surga dan neraka, rumah adalah tempat kebaikan, tempat kita menyembunyikan luka di sudut-sudut yang hidup. Tangis air mata, tawa canda, dan pijakan kaki menjadikan rumah tampak emosional, tidak koma atau sekarat dalam diam. Kesepian yang membunuh. Bukanlah rumah, bila hanya kemewahan yang nampak, namun menghadirkan ketakutan di tiap lorong-lorongnya yang tampak suram. Suram, bukan karena keindahan, tapi karena kemegahan yang meng-asingkan jiwa. Rasa, menjiwa di sebuah rumah dengan tatapan hangat dan obrolan bersahabat, tanpa benci, tanpa kekerasan. Seorang ayah yang pulang ke rumah, menghabiskan waktu di kantor 12 jam lamanya, sisa malamnya hanya untuk melepas penat, lalu tidur pulas, tanpa permi...